Rumahnya Hendak Dieksekusi, Warga Makassar Minta Perlindungan Hukum

Ia berharap proses eksekusi itu bisa ditunda karena berbagai alasan.

oleh Eka Hakim diperbarui 05 Okt 2022, 13:43 WIB
Diterbitkan 05 Okt 2022, 13:30 WIB
Ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 Makassar, Stefanus Djaya bersama kuasa pendamping hukum keluarga ahli waris, Yakobus memberikan keterangan pers (Liputan6.com/Eka Hakim)
Ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 Makassar, Stefanus Djaya bersama kuasa pendamping hukum keluarga ahli waris, Yakobus memberikan keterangan pers (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Jakarta Ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 yang dulunya bernomor 30, RT 001, RW 002, Kelurahan Bonto Biraeng, Kecamatan Mamajang, Makassar melalui Kuasa Pendamping Hukum keluarganya dari Lembaga Misi Reclasering Indonesia (LMRI-RI) Komwil Sulsel meminta perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi atas objek rumah dan lahannya oleh Pengadilan Negeri Makassar yang rencananya akan digelar Kamis 6 Oktober 2022.

Yakobus, Kuasa Pendamping Hukum keluarga ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 tersebut, menjelaskan alasan pihaknya mengajukan surat permintaan perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi karena pertama, pihaknya yakni Stephanus Djaya, Andreas Kelly, Monika Gloria Debi, Albertus Taka Sandy, dan Bernardius Wandi Dala masih sementara melakukan perlawanan eksekusi yang sementara berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar tepatnya memasuki tahapan mediasi.

"Karena kami sebagai pihak yang tidak pernah dilibatkan dalam perkara yang dimaksud baik terhitung sejak putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang bernomor 28/Pdt.G/1989/PN.Uj.Pdg, kemudian berlanjut pada putusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang bernomor 172/PDT/1990/PT.UJ.PDG serta pada putusan Mahkamah Agung bernomor 216.K/Pdt/1991," kata Yakobus, pengurus LMRI-RI Komwil Sulsel dalam konferensi persnya, di salah satu warkop di bilangan Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Rabu (5/10/2022).

"Pihak yang terlibat dalam putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Tinggi Ujung Pandang dan Mahkamah Agung yang dimaksud di atas yakni Yosep Moke, Maria, Yosef selaku tergugat sementara pihak penggugat bernama Lantara Dg Ledeng yang mengaku sebagai kuasa dari Hafsah Dg Ngahe. Jadi sama sekali pihak kami tidak ada hubungan hukum dengan perkara yang akan dieksekusi ini," terang Yakobus.

Alasan berikutnya, pihaknya meminta perlindungan hukum atas pelaksanaan eksekusi objek rumah dan lahannya baik ke Ketua Mahkamah Agung RI, Kepala Badan Pengawas MA RI, Presiden RI, Jaksa Agung RI, Komisi III DPR RI, Kapolri, Ketua Komisi Yudisial (KY), Komnas HAM RI, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Kapolda Sulsel, KPK, Ombudsman RI, Satgas Mafia Tanah di Jakarta, Kapolrestabes Makassar, Kapolsekta Mamajang, Camat Mamajang hingga Lurah Bonto Biraeng, karena salah satu penghuni lahan dan rumah yang menjadi objek eksekusi, Antonius Jo sejak tahun 1969 hingga sekarang menempati lahan dan rumah tersebut sekaligus sebagai pembayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga saat ini.

"Sementara sejak awal mereka tidak pernah dilibatkan dalam proses gugat menggugat. Padahal orangtua mereka (Antonius Jo) terdaftar sebagai pembayar PBB sampai sekarang. Tapi anehnya tiba-tiba mereka mendapat pemberitahuan jika rumah dan lahannya yang sejak lama mereka huni akan dieksekusi besok," ungkap Yakobus.

 

Permintaan Perlindungan Hukum

Ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 Makassar, Stefanus Djaya bersama kuasa pendamping hukum keluarga ahli waris, Yakobus memberikan keterangan pers (Liputan6.com/Eka Hakim)
Ahli waris penghuni rumah dan lahan di Jalan Badak Nomor 52 Makassar, Stefanus Djaya bersama kuasa pendamping hukum keluarga ahli waris, Yakobus memberikan keterangan pers (Liputan6.com/Eka Hakim)

Dia berharap dengan adanya permintaan perlindungan hukum tersebut, pihak PN Makassar bisa menjadikan pertimbangan untuk membatalkan pelaksanaan eksekusi karena objek yang akan dieksekusi tidak memiliki korelasi hukum dengan pemohon eksekusi, Surianti.

"Kami mempertanyakan legalitas Surianti sebagai pemohon eksekusi. Sejak perkara berjalan dia sama sekali bukan pihak. Baik sebagai tergugat maupun penggugat sejak awal berdasarkan putusan yang ada," jelas Yakobus.

Meski demikian, pihaknya tetap akan patuh kepada proses hukum yang berjalan, hanya saja karena pemohon eksekusi dalam putusan tidak berkorelasi hukum dengan objek eksekusi sekaligus bukan pihak dalam putusan yang menjadi dasar pelaksanaan eksekusi, maka kami meminta pelaksanaan eksekusi dibatalkan sebagai bukti bahwa hukum berasaskan keadilan 'tidak tumpul ke atas dan tidak tajam ke bawah'.

"Harapan kami semoga Bapak Ketua PN Makassar untuk dapat menunda dan membatalkan pelaksanaan eksekusi tersebut," tutur Yakobus.

Stefanus Djaya, ahli waris dari Almarhum Antonius Jo (penghuni tertua rumah dan lahan objek eksekusi) mengungkapkan, penghuni awal rumah dan lahan yang berada di Jalan Badak Nomor 52 yang disebut sebagai objek eksekusi, dahulunya adalah Maring bersama Almarhum Antonius Jo. 

Dalam perjalanan kala itu, Maring kemudian bertemu lalu memanggil Almarhumah Hafsah Dg Ngahe yang merupakan Ibu Kandung Surianti untuk tinggal di rumah yang dimaksud karena pada saat itu Maring merasa iba melihat kondisi Hafsah yang sedang hamil tua dan tidak memiliki tempat tinggal.

"Kebetulan saat itu Almarhumah Hafsah sedang mengandung Surianti," ucap Stefanus.

Di rumah itulah kemudian, Surianti dilahirkan. Namun belakangan tepatnya Surianti kala itu berusia 4-5 tahun, Maring meninggal dunia dan selanjutnya Almarhumah Hafsah membawa anaknya, Surianti meninggalkan rumah dan lahan tersebut.

"Jadi yang ada tinggal Almarhum Antonius, bapak saya yang ada di rumah tersebut sekaligus sebagai pembayar PBB terhitung sejak menghuni rumah dan lahan tersebut hingga sekarang ini," Stefanus mengungkapkan.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya