Liputan6.com, Paser - Jelang akhir 2022 jumlah kasus kekerasan perempuan dan anak di Kabupaten Paser mencapai 29 kasus. Data tersebut berdasarkan pendampingan yang dilakukan oleh UPTD PPA. Sementara untuk 2021 terdapat 32 kasus.
"Kasus-kasus itu berdasarkan data hingga Oktober," kata Kepala Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP2KBP3A) Paser, Amir Faisol, Selasa (22/11/2022).
Baca Juga
Dari 29 kasus yang dilakukan pendampingan berdasarkan kategori perempuan dan anak, katanya, kasus yang menimpa perempuan terdapat 8 kasus, sedangkan 21 kasus terjadi pada anak-anak. "Berdasarkan jenis kelamin ada 24 perempuan dan lima laki-laki," sambungnya.
Advertisement
Adapun berdasarkan janis kasusnya terdapat beberapa pembagian. Antara lain kekerasan fisik 2 kasus, psikis 4 kasus, pelecehan seksual 12 kasus, hak asuh anak 5 kasus, penelantaran anak 3 kasus, dan 3 kasus lain-lain.
"Tiga kasus lain ini saya belum mendapatkan datanya. Sampai saat ini telah 19 kasus dalam sudah arti klir dilakukan pendampingan," jelas mantan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Paser itu.
Bentuk PATBM hingga Beli Perak
Berbagai upaya perlindungan dilakukan, antara lain membentuk Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) yang tersebar di 30 desa. Dibentuknya dengan tujuan setiap persoalan kekerasan perempuan dan anak dapat diselesaikan tingkat bawah.
"Jadi enggak perlu lagi UPTD PPA yang ada di kabupaten," sebut dia.
Selain itu, mengembangkan sekolah ramah anak dengan memberikan atau menyelipkan edukasi kekerasan perempuan dan anak di sela-sela pembelajaran. Juga terdapat forum anak yang bertujuan jika terjadi persoalan sesama anak bisa diselesaikan antar teman sendiri.
"Dengan kasus yang meningkat sering mendapatkan undangan dari sekolah memberikan edukasi, khususnya perundungan," bebernya.
Selain itu meluncurkan program Bersama Lindungi Perempuan dan Anak (Beli Perak). Diungkapkan Amir Faisol program itu salah satu solusi untuk mengatasi persoalan terhadap perempuan dan anak.
Ia mengatakan sebagian masyarakat masih memahami kekerasan itu hanya berupa bentuk fisik, memukul, menjambak, menganiaya, dan sebagainya. "Padahal ada non verbal seperti menyakiti dengan kata-kata," dia memungkasi.
Advertisement