Liputan6.com, Palu - Organisasi perlindungan anak, Save The Children meminta hak-hak anak tidak diabaikan dalam penanganan kejahatan seksual yang dialami gadis 15 tahun di Parigi Moutong (Parimo). Selain itu polisi diminta menggunakan semua instrumen hukum perlindungan anak dalam penanganan kasus itu.
Baca Juga
Advertisement
Menurut Child Protection Advisor Save the Children Indonesia, Yanti Kusumawardhani, kejahatan seksual yang dialami RO gadis 15 tahun asal Parimo itu merupakan pelanggaran hak anak yang fundamental.
Yanti menyebut yang dialami korban bukan sekadar persetubuhan seperti pendapat kepolisian, melainkan merupakan aksi pemerkosaan.
Aksi bejat 10 pelaku itu melanggar dinilai melanggar semua instrumen hukum perlindungan anak yang ada, yakni UU Perlindungan Anak No. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak, UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang.
"Save The Children meminta kasus ini ditangani dengan prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang memprioritaskan keselamatan anak, agar tetap merasa aman, serta bebas untuk mengungkapkan pendapat dan kebutuhannya," kata Yanti, Jumat (2/6/2023).
Selain itu, terdapat tiga hal yang perlu jadi perhatian dalam penanganan dan pendampingan korban anak, yakni asesmen secara menyeluruh, merumuskan rencana pemberian layanan dan tidak membatasi pada pemberian layanan hukum, memberikan layanan yang dibutuhkan dengan memperhatikan hak anak, tahap perkembangan anak, melakukan monitoring dan evaluasi serta terminasi pengakhiran kasus apabila hak anak dan kebutuhannya telah terpenuhi.
Di sisi lain pengembangan mekanisme supervisi berjenjang perlu dilakukan mulai dari tingkat kabupaten/kota, provinsi hingga tingkat nasional untuk memastikan setiap kasus tertangani dengan baik. Supervisi harus memberikan fungsi edukasi, dukungan, di samping fungsi administratif kepada seluruh SDM penyedia layanan perlindungan anak.
Yang tidak kalah penting adalah menjaga kerahasiaan identitas korban yang merupakan salah satu prinsip utama dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak. Seluruh Pihak wajib untuk merahasiakan identitas anak baik anak sebagai pelaku tindak pidana, korban maupun saksi dalam pemberitaan di media cetak ataupun elektronik sebagaimana diatur pada pasal 19 UU nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan juga pada Peraturan Dewan Pers Nomor 1 tahun 2019 tentang pedoman pemberitaan ramah anak.