Tari Bedhaya Ketawang, Tarian Kebesaran Surakarta yang Sakral

Meski merupakan hasil warisan dari Kesultanan Mataram, tetapi tarian ini hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta saja.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 07 Jun 2023, 18:00 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2023, 18:00 WIB
Jumenengan Raja Solo
Sejumlah penari Bedhaya Ketawang sedang menarikan tarian sakral itu dalam tingalan dalem jumenenan ke-14 Paku Buwono XIII.(Liputan6.com/Fajar Abrori)

Liputan6.com, Solo - Tari bedhaya ketawang merupakan salah satu seni pertunjukan yang berasal dari Keraton Kasunanan Surakarta. Tarian ini termasuk tari kebesaran yang hanya hadir saat penobatan dan peringatan kenaikan tahta raja di Keraton Kasunanan Surakarta saja.

Nama 'bedhaya' dalam tarian ini berarti penari wanita di istana, sedangkan 'ketawang' atau 'tawang' merupakan langit, sesuatu yang tinggi, mulia, dan luhur. Tarian ini dianggap sebagai tari bedhaya tertua yang dijadikan sebagai kiblat dari tari bedhaya lainnya.

Mengutip dari surakarta.go.id, tarian ini menceritakan Panembahan Senopati dengan Kanjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati merupakan raja pertama dari Dinasti Mataram.

Tari ini biasanya dimainkan oleh sembilan orang penari. Konon, Nyi Roro Kidul akan ikut menari dan menggenapi jumlah penari tersebut menjadi sepuluh orang. Meski merupakan hasil warisan dari Kesultanan Mataram, tetapi tarian ini hanya dipentaskan di Kasunanan Surakarta saja. Hal ini berkaitan dengan Perjanjian Giyanti 1755.

Dalam perjanjian tersebut Kerajaan Mataram dibagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Tak hanya pembagian wilayah, tetapi kebudayaan dan kesenian juga mengalami pembagian, salah satunya tari Bedhaya ketawang. 

Tarian ini tergolong cukup sakral dan tak boleh dimainkan oleh sembarang orang. Penari bedhaya ketawang harus dalam keadaan suci dan tidak sedang mengalami menstruasi, perawan, berusia antara 17-25 tahun, memiliki postur tubuh proporsional, memiliki daya tahan tubuh yang baik, dan harus melakukan puasa mutih.

Terkait umur, penari dengan usia muda dipilih karena masih memiliki kekuatan untuk menari selama 1,5 jam. Selain itu, kulitnya juga masih kencang, cantik, dan berseri-seri. Adapun saat melakukan puasa mutih, para penari tidak mengonsumsi makanan selain yang berwarna putih selama beberapa hari.

Para penari bedhaya ketawang umumnya mengenakan pakaian berupa dodot ageng atau basahan. Pakaian tersebut dipadukan dengan kain cindhe kembang berwarna ungu.

Untuk bagian kepala, rambut penari akan dihias dengan gelung bokor mengkurep. Mereka juga mengenakan beberapa aksesori, seperti kentrung, garuda mungkur, sisir jeram saajar, cundhuk mentul, dan tiba dhadha. Kostum yang dikenakan oleh para penari ini sebenarnya merupakan pakaian pengantin perempuan Jawa Tengah.

Tarian ini diiringi dengan gamelan yang terdiri dari lima macam yang berlaras pelog pathet lima. Gamelan tersebut yaitu gendhing (kemanak), kala (kendhang), sangka (gong), pamucuk (kethuk), dan sauran (kenong).

Peraturan-peraturan tertentu tak hanya ditujukan untuk para penari, tetapi penonton juga memiliki beberapa aturan yang harus ditaati. Penonton tari bedhaya ketawang tidak boleh makan, merokok, dan dilarang mengobrol atau berbicara.

 

Penulis: Resla Aknaita Chak

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya