Babak Baru Kasus 'Mafia Tanah' di Bendungan Paselloreng

Kejati Sulsel meningkatkan status kasus Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan

oleh Eka Hakim diperbarui 21 Jul 2023, 20:02 WIB
Diterbitkan 21 Jul 2023, 20:02 WIB
Kejati Sulsel meningkatkan status kasus Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan (Liputan6.com/Eka Hakim)
Kejati Sulsel meningkatkan status kasus Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan.

Liputan6.com, Wajo Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kejati Sulsel) akhirnya meningkatkan status penanganan kasus dugaan mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo Tahun Anggaran 2021 ke tahap penyidikan, Jumat (21/7/2023).

Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel), Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, peningkatan status kasus dugaan mafia tanah dalam kegiatan pembayaran ganti rugi pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo ke tahap penyidikan berdasarkan hasil ekspose perkara.

Di mana dari hasil ekspose perkara yang digelar Kamis 20 Juli 2023, sebut Leonard, Tim Penyelidik telah menemukan adanya peristiwa pidana dan selanjutnya pada tahap penyidikan akan dilakukan pengumpulan bukti-bukti yang dengan bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan menemukan siapa yang bertanggungjawab secara pidana.

"Kasus ini ditingkatkan ke tahap penyidikan berdasarkan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print–664/P.4/Fd.1/07/2023 Tanggal 20 Juli 2023," ucap Leonard.

 


Posisi Kasus

Bendungan Paselloreng di Sulawesi Selatan (Liputan6.com/Eka Hakim)
Bendungan Paselloreng di Sulawesi Selatan (Liputan6.com/Eka Hakim)

Adapun posisi kasus, kata Leonard, di mana pada Tahun 2015, Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo dan untuk kepentingan pembangunan bendungan tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan (Gubernur Sulsel) mengeluarkan Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng.

Lokasi pengadaan tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng, lanjut Leonard, memerlukan lahan atau tanah yang terdiri dari lahan yang masih masuk dalam Kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng dan Kabupaten Wajo yang telah ditunjuk oleh pemerintah sebagai Kawasan Hutan HPT.

Selanjutnya melalui proses perubahan Kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulawesi Selatan itu, salah satunya untuk kepentingan Pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo. 

"28 Mei 2019 terbit Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian Nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019 tentang perubahan kawasan Hutan menjadi bukan Hutan Kawasan Hutan seluas 91.337 Ha, perubahan fungsi kawasan hutan seluas 84.032 Ha dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas 1.838 Ha di Provinsi Sulawesi Selatan," ucap Leonard.

Ia menyebutkan setelah dikeluarkan sebagai kawasan hutan dan mendengar bahwa dalam lokasi tersebut akan dibangun Bendungan Paselloreng, tiba-tiba ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) secara kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021.

Sporadik tersebut lalu diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani, sehingga dengan sporadik itu seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut, padahal diketahuinya bahwa tanah yang dimaksud adalah kawasan hutan.

"Sebanyak 246 bidang tanah kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut," tutur Leonard.

Dia mengatakan, berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan pada Tahun 2015 oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), tampak bahwa eks kawasan hutan tersebut, pada Tahun 2015 masih merupakan kawasan hutan dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.

"Dengan demikian lahan tersebut tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan," kata Leonard.

Setelah Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah yang dimaksud telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian, hal itu selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk dinilai baik harga tanahnya, tanaman, jenis serta jumlahnya. 

"Namun dalam pelaksanaannya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel," terang Leonard.

Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah tersebut. LMAN melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.

"Karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623," jelas Leonard.

Pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan oleh instansi yang memerlukan tanah, kata Soetarmi, cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya