Liputan6.com, Semarang - Cobalah menyusuri jalan-jalan di kota Semarang. Baik jalan raya yang ramai, maupun jalan setapak yang hanya bisa dilewati dengan jalan kaki. Ada satu hal yang menarik. Es teh.
Benar. Dalam beberapa bulan terakhir penjual es teh tumbuh sangat pesat. Sebagai gambaran, untuk di wilayah Pedurungan Tengah saja, dalam radius 200 meter, sudah bisa kita temui lebih dari 20 counter penjual es teh.
Fenomena ini seperti tren Thai Tea beberapa waktu lalu. Juga sup buah bertahun lalu. Ada yang berbeda dengan es teh. Apa itu?
Advertisement
Dalam sebuah diskusi bertajuk Ngobrol Santai Rebonan, Agung Budi Margono, salah seorang pegiat kegiatan anak muda mengupas dari sisi ekonomi. Menurutnya, penjual es teh yang booming di Semarang tak lepas dari karakter minuman teh tersebut.
"Ini berbeda dengan kopi yang segmentasinya lebih sempit. Es teh disukai semua kalangan. Anak muda maupun orang tua. Ini menjadi pendorong pertumbuhan counter es teh di Semarang," katanya.
Â
Tradisi Lama
Dalam diskusi tentang teh tersebut, terungkap bahwa dalam tradisi Nusantara, teh menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sosial, politik, budaya.
Pegiat kebudayaan Edhie Prayitno Ige menyebutkan bahwa tradisi ngeteh sudah tertuang dalam tembang macapat, pupuh Asmaradana.
Tuwan sukětaris mak ling, sampun pamit nulya pulang, kang maksih pinrak sang katong, nulya kasaosan wedang, rati lawan manisan, nata jěng ratu wus ngunjuk, er tih lan kangjeng pangeran.
Sampun kasaosan er tih, angunjuk tunggil lan baskal, Raden Endra Suwarnane, minum lan Jayaněgara, pra yayi dalěm samya, minum kalawan Den Ayu, Mangkudiningrat kalawan.
Tuan Sekretaris berucap, (lantas) berpamitan dan pulang. (la) yang masih tinggal adalah sang raja, segeralah disuguhi air, roti, dan manisan. Sultan, sang ratu, dan pangeran sudah meminum teh.
(Mereka) sudah disuguhi air teh, Tuan Baskal pun meminum yang sama. Raden Endra Suwarna (juga) minum. Jayanegara, para adik Sultan serta Raden Ayu Mangkudiningrat pun minum (teh).
Disampaikan pula bahwa di lingkup keraton Yogyakarta ada sebuah tempat yang khusus digunakan untuk menikmati teh. Maka tempat tersebut kemudian disebut Patehan.
"Jadi teh sebenarnya tak hanya bernilai ekonomis saja. Ada sebuah laku untuk memahami bagaimana hidup harus dijalani," kata Edhie.
Di Jawa, masyarakat begitu akrab dengan teh sebagai jamuan. Di dalam Serat Centhini (1814), disebutkan berbagai macam jenis teh, seperti wedang teh, eteh jawa gendhis, wedang teh memanisan.Â
Di kalangan bangsawan Yogyakarta, sejarah teh sudah dicatat sejak pemerintahan Sultan Hamengku Buwono II (1811), sementara artefak alat minum teh sudah ditemukan pada pemerintahan Sultan Hamengku Buwono V (1822-1855).Â
Kemudian Sultan Hamengku Buwono VII (1877-1921) membangun rumah teh 'gedhong patehan' sebagai bentuk perlembagaan teh bagi jamuan para bangsawan. Hari ini, masyarakat mengenal teh sebagai minuman yang tidak terbatas pada usia, waktu, dan peristiwa khusus.
Â
Â
Advertisement
Tak Khawatir Hanya Tren
Agung Budi Margono kemudian menyebutkan bahwa Singapura yang tak memiliki perkebunan teh, ternyata menjual teh dengan sangat mahal.
"Di Singapura itu satu kemasan kecil saja bisa berharga 600 ribu rupiah. Bandingkan dengan yang dijual di Semarang, rata-rata 3000 rupiah per gelas," katanya.
Agung BM menangkap fenomena ini sebagai hal yang harus diperjuangkan. Anak-anak muda Indonesia dengan kemampuan bernarasi, kemampuan membuat packaging, kemampuan lain-lain yang berkaitan dengan teknologi, diharapkan akan mampu mewarnai pasar teh sehingga bernilai lebih.
Dalam obrolan santai tersebut, Agung yang merupakan calon legislatif dari PKS dan mengambil es teh sebagai ikon mengaku terus mengikuti gaya milenial menyikapi sesuatu.
"Semoga ikon es teh membuat saya dan teman-teman yang mendukung bisa lebih adem menghadapi situasi politik yang sulit ditebak. Semoga kami bisa lebih istiqamah memaknai hasil dan menghormati proses," katanya.
Pegiat kebudayaan lainnya, Agung Budi Himawan sempat menyinggung bahwa fenomena penjual es teh ini seperti musiman saja. Ia menyebut omzet jualan es teh di counter yang sederhana bisa mencapai 1,2 juta rupiah per hari.
"Punya adik saya itu sekarang sedang tinggi demand-nya. Barangkali faktor cuaca panas ikut berpengaruh," kata Agung Hima.
Febby Budisantoso, pengelola beberapa outlet es teh mengaku tak khawatir ini hanya tren musiman. Menurutnya yang perlu dilakukan anak muda adalah merespon tren.
"Syukur bisa menciptakan tren. Tapi yang pasti teh itu menjangkau semua kalangan. Dari strata bawah sampai eksekutif. Semua kami perlakukan setara, dengan harga yang murah," kata Febby.
Febby menambahkan seandainya hanya tren sekalipun, setidaknya ia sudah bisa ikut menikmati hasil penjualannya.
Ini linear dengan ucapan Agung BM, bahwa sejak dulu teh sudah menjadi minuman harian. Segmen penikmatnya juga dari anak muda hingga orang tua.Â
"Maka kalaupun ini tren saja, tetap teh dan es teh tak akan hilang. Tak ada kata terlambat untuk menikmati teh atau kopi. Walau itu di malam hari karena lebih baik tidak bisa tidur daripada tidak bisa bangun," kata Agung.Â