Cerita Etnis Arab Bangun Masjid Merah Panjunan Cirebon Abad ke-15

Pintu untuk masuk ke dalam berukuran kecil dan setiap orang yang masuk untuk salat di Masjid Merah Panjunan harus menunduk

oleh Panji Prayitno diperbarui 17 Mar 2024, 06:00 WIB
Diterbitkan 17 Mar 2024, 06:00 WIB
Kisah Masjid Merah Cirebon Tempat Pengajian dan Musyawarah Para Wali
Bagian dalam Masjid Merah Panjunan yang berada di kampung Arab Panjunan Cirebon. Foto (Liputan6.com / Panji Prayitno)

Liputan6.com, Jakarta - Masjid tak hanya menjadi tempat ibadah umat muslim di seluruh dunia. Pada perjalanannya. masjid menjadi bagian dari sarana dakwah dan tempat berkumpulnya para alim ulama yang tersohor di era walisanga.

Seperti sebuah bangunan masjid berdinding merah di Panjunan Kota Cirebon yang hingga kini masih berdiri kokoh. Masjid yang dibangun sekitar abad ke 15 tersebut diketahui dibangun oleh etnis Arab.

Seluruh bangunan masjid berwarna merah dengan susunan bata ditambah ornamen keramik membuat masjid ini menjadi ikonik. Jumlah tiang di dalam masjid merah Panjunan sebanyak 17 buah memaknai jumlah salat lima waktu.

Pintu untuk masuk ke dalam berukuran kecil dan setiap orang yang masuk untuk salat di Masjid Merah harus menunduk. Pintu tersebut, menandakan sifat rendah hati dan harus selalu menunduk saat akan menghadap Allah.

Sementara, gaya bangunan Masjid Panjunan Cirebon merupakan perpaduan gaya Arab dan China. Bagian depan menyerupai klenteng, sedangkan bagian dalamnya gaya Arab. Melambangkan dari China Putri Ong Tin yang merupakan istri Sunan Gunung Jati.

Mengutip catatan budayawan Cirebon Almarhum Nurdin M Noor, warga Arab yang datang pertama kali ke Cirebon adalah Syarif Abdurrakhman dan ketiga adiknya.

"Mereka diperintah ayahnya Sultan Bagdad untuk bermigrasi ke Jawa Dwipa (Pulau Jawa). Mereka adalah Syarif Abdurakhim, Syarif Kahfi, dan Syarifah Bagdad. Daerah tujuan mereka adalah Cirebon," tutur Nurdin.

Di Cirebon, mereka berguru kepada Syekh Nurjati di Pesambangan Gunung Jati. Oleh Syekh Nurjati, mereka diperkenalkan kepada Pangeran Cakrabuwana.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Tempat Musyawarah

Setelah diterima dengan baik, Pangeran Cakrabuwana memerintahkan Syarif Abdurakhman untuk membangun pemukiman yang sekarang dinamai Panjunan.

Pangeran Panjunan memimpin dan mengayomi masyarakat Panjunan dengan memberikan masyarakat tanah liat. Oleh masyarakat, tanah liat itu dibuat menjadi gerabah. Panjunan sendiri berarti tempat pembuatan gerabah dari tanah liat.

Sedangkan, Syarif Abdurakhim membangun pemukiman yang sekarang dikenal dengan nama Kejaksan.

"Kalau Syarif Abdurakhman dikenal dengan nama Pangeran Panjunan yang membangun Masjid Merah, sementara Syarif Abdurakhmin dikenal dengan nama Pangeran Kejaksan," ujar dia.

Hingga suatu waktu, Pangeran Panjunan bersama Pangeran Kejaksan, Syekh Datuk Kahfi, Syekh Majagung, Syekh Maghridbi dan para gegedeng menghadap Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana untuk meminta izin membangun masjid.

Atas izin Ki Kuwu Pangeran Cakrabuwana, Pangeran Panjunan diberi wewenang untuk menjabat sebagai Nata Cirebon memangku Keraton Pakungwati.

Menurut Nurdin, Masjid Merah itu awalnya sebuah surau yang menjadi tempat peribadatan kedua setelah Masjid Pejlagrahan yang berada di Kampung Siti Mulya (sebelah timur Keraton Kasepuhan).

"Disebut Masjid Merah atau Abang dalam bahasa Jawa Cirebon, karena seluruh bangunannya terbuat dari bata merah," kata dia.

Masjid Merah hanya digunakan untuk salat lima waktu dan acara pengajian rutin. Sedangkan untuk salat Jumat, hanya ada di masjid agung dan masjid-masjid lainnya.

Pada masa Sunan Gunung Jati, surau itu kerap digunakan untuk pengajian dan musyawarah para wali. Ketika Kesultanan Cirebon diperintah Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati), sekitar 1549, halaman masjid dipagar dengan kuta kosod.

"Pada pintu masuk dibangun sepasang candi bentar dan pintu panel jati berukir," ucap Nurdin.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya