Cegah Krisis Air, Sultan HB X Tanam Pohon di Lereng Merapi

Kawasan barat Merapi mengalami kebakaran seluas 200 hektare pada erupsi Merapi Tahun 2010 lalu,  berdampak pada kerusakan mata air. Selain mencari pasokan sumber air dari daerah lain, DIY juga berupaya melakukan perbaikan hutan dengan menanam pohon di kawasan Merapi.

oleh Yanuar H diperbarui 25 Jan 2025, 11:00 WIB
Diterbitkan 25 Jan 2025, 11:00 WIB
Pagi di Lereng Merapi Bersama Salak, Sungai dan Tarian
Desa wisata di lereng Merapi itu memiliki aura gaib yang kuat. (dok. Desa Wisata Pulesari))... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X dan beberapa elemen masyarakat menanam pohon di lereng Merapi untuk mengurangi kelangkaan air bersih usai erupsi Merapi Tahun 2010 lalu yang membakar lahan seluas 200 ha hingga menigkatnya deforestasi, betonisasi, polusi hingga global warming. Sultan HB X menanam 3 jenis pohon langka, yaitu sawo kecik, kepel, dan pronojiwo.

Kelangkaan air bersih menurut Sultan karena pertumbuhan penduduk dan pembangunan infrastruktur dengan kebutuhan pasokan air di DIY sebesar 800 liter per detik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang mencapai 27.000 liter per detik. Sementara ditambah lonjakan jumlah penduduk DIY yang diproyeksikan mencapai 4 juta jiwa pada tahun 2025-2030.

“Lereng Merapi tidak akan mencukupi seperti dulu. Sebelah barat telah terbakar beberapa tahun lalu seluas 200 hektare. Itu memang kembali, tapi tidak mungkin punya kecukupan. Oleh karena itu, penting pelestarian lingkungan di kawasan lereng Merapi untuk menjaga keberlanjutan sumber daya air,” papar Sri Sultan di Nawang Jagad, Kaliurang, Sleman, Senin (20/1/2025). 

 

Melalui gerakan menanam pohon dan menjaga lingkungan di kawasan Merapi ini Sri Sultan berharap menjadi gerakan masif di masyarakat dan meningkatkan kesadaran masyarakat. Khususnya untuk lebih mencintai lingkungan dan alam sekitarnya. “Dengan gerakan ini saya berharap, lingkungan itu tidak rusak tapi makin bagus, sehingga di lereng Merapi akan banyak tanaman. Dengan banyak tanaman tumbuh, mata air baru yang memungkinkan masyarakat itu juga di Sleman bisa menikmati dengan baik,” ungkap Sri Sultan.

Sri Sultan mengapresiasi keterlibatan ormas lintas agama dalam kegiatan ini. Hal ini menjadi simbol dari persatuan dan tujuan yang sama, dalam upaya menjaga alam yang ditempati sekarang. "Itu simbol daripada kemauan yang sama, saya kira kesadaran itu juga harus tumbuh ke anak-anak muda," tutup Gubernur DIY tersebut.

Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Datu Dana Suyasa, GKR Mangkubumi mengatakan, pasca erupsi Gunung Merapi 2010, banyak sungai-sungai yang tertutup lahar ditambah aktivitas manusia yang merusak salah satunya pertambangan pasir. Menurut GKR Mangkubumi, jika alam rusak, maka akan mempengaruhi elemen-elemen yang lain, misalnya saja gumuk pasir hingga air di sekitarnya.

"Kami ingin lebih banyak lagi pohon-pohon yang ditanam. Karena sejujurnya, sejak erupsi Merapi tahun 2010 yang agak besar itu banyak sekali sungai-sungai, dan aliran sungai yang tertutup. Nah, dengan penanaman yang semakin banyak ini, yang kemudian akan menimbulkan kembalinya sampai mengalir ke selatan. Mudah-mudahan dari teman-teman dari lintas agama bisa mengajak teman-teman lainnya untuk bersama-sama menanam yang lebih luas lagi,” jelas GKR Mangkubumi.

 Sementara itu, Kepala Bebadan Pangreksa Loka, RM Gusthilantika Marrel Suryokusumo yang menginisiasi acara ini mengatakan, ada cara antisipasi permasalahan lingkungan seperti menangani kemungkinan krisis air. Kegiatan ini melibatkan pemuda agama lintas agama, dan bergerak di bawah Bebadan Pangersaloka untuk menanggulangi permasalahan lingkungan, di tengah tantangan dan perkembangan zaman.

“Permasalahan yang paling krusial adalah bagaimana mengembalikan gunung sebagaimana fungsinya. Sesuai arahan Ngarso Dalem, gunung bali gunung, atau gunung kembali menjadi gunung. Artinya, melestarikan lingkungan supaya kembali seperti peruntukannya. Air dan lingkungan ini adalah sumber kehidupan bersama. Permasalahan lingkungan ini biasanya tidak terlihat, sampai sudah terjadi. Ketika sudah muncul dan sudah terjadi, itu artinya sudah terlambat," ungkap Marrel.

Pemilihan lokasi Nawang Jagad untuk penanaman pohon selain karena sebagai destinasi wisata di lereng Gunung Merapi juga daerah ini mendapatkan alokasi Bantuan Keuangan Khusus (BKK) Gubernur DIY tahun 2020-2021. Bantuan tersebut diharapkan agar destinasi di lereng Merapi tersebut dikembangkan menjadi wisata berbasis alam melalui konsep eco tourism dan green tourism. "Sekarang bisa memberikan hasil tidak hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk lingkungan dan masyarakat sekitar. Wisata tidak harus membangun bangunan permanen, wisata tidak harus merusak bentang alam. Wisata bisa bersahabat dengan alam," tutup Marrel.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya