Walhi Gorontalo Soroti Pemberian Izin Tambang ke Perguruan Tinggi: Hanya Menambah Masalah Ekologis

Direktur Eksekutif Daerah Walhi Gorontalo memandang, rencana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi hanya akan menambah masalah ekologis.

oleh Arfandi Ibrahim diperbarui 27 Jan 2025, 10:03 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2025, 10:03 WIB
Tambang nikel
Tambang nikel di sejumlah wilayah di Pulau Sulawesi berdampak pada deforestasi dan terampasnya ruang hidup petani, nelayan dan masyarakat adat. Foto: WALHI... Selengkapnya

Liputan6.com, Gorontalo - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Gorontalo menilai pemberian izin pengelolaan tambang kepada kampus atau perguruan tinggi melalui Revisi Undang-Undang (RUU) Perubahan Keempat atas Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) akan membuat ruang hidup masyarakat makin terancam.

Defri Sofyan, Direktur Eksekutif Daerah Walhi Gorontalo memandang, rencana pemberian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) kepada perguruan tinggi hanya akan menambah masalah ekologis, yang akan memberikan dampak yang serius bagi rakyat di Provinsi Gorontalo.

“Alih-alih meninjau kembali izin-izin tambang untuk mengatasi ketimpangan penguasaan ruang dan memulihkan kondisi lingkungan hidup, pemerintah justru menambah entitas baru sebagai pengelola pertambangan,” kata Defri Sofyan melalui pernyataan resminya.

Padahal, ancaman terhadap ruang hidup rakyat sudah datang dari berbagai sektor. Di Gorontalo, sekitar 65% wilayah provinsi telah dikuasai oleh korporasi, baik secara langsung maupun tidak langsung, dalam bentuk konsesi pertambangan, perkebunan sawit, HTI, HTE, pembangunan Proyek Strategis Nasional, dan pertanian monokultur jagung.

Walhi Gorontalo mencatat, luas konsesi pertambangan di Provinsi Gorontalo mencapai sekitar 59 ribu hektare, yang dikelola oleh sekitar 70 perusahaan dengan jenis tambang batuan dan mineral logam.

Dari jumlah tersebut, sekitar 58 ribu hektare, atau 98% dari total luas konsesi, dikuasai oleh lima perusahaan tambang mineral logam.

Adapun lima perusahaan tambang itu, yakni PT Gorontalo Minerals 24.995 hektar, PT Gorontalo Sejahtera Mining 14.570 hektar, PT Celebes Bone Mineral 13.195 hektar dan PT Puncak Emas Tani Sejahtera 100 hektar. Ironisnya, semua keberadaan perusahaan tambang ini berada di wilayah hulu.

Jika dikaitkan dengan kondisi topografis Provinsi Gorontalo yang didominasi oleh lereng curam di wilayah hulu, dengan pemukiman yang berada di bagian bawahnya, maka tidak mengherankan jika bencana ekologis berupa banjir dan longsor selalu menjadi langganan setiap tahun di provinsi ini.

Simak juga video pilihan berikut:

Data Forest Watch Indonesia (FWI)

Walhi Gorontalo
WALHI Gorontalo mencatat, luas konsesi pertambangan di Provinsi Gorontalo mencapai sekitar 59 ribu hektare (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)... Selengkapnya

Menurut data Forest Watch Indonesia (FWI), di Gorontalo dalam kurun waktu 2017 sampai 2021 terjadi deforestasi seluas 33.492 hektar yang 85% diakibatkan oleh pertambangan.

RUU Minerba yang akan memberikan ruang kepada kampus untuk kelola tambang disinyalir akan memicu bencana ekologis dan memperluas ancaman ruang hidup rakyat di Gorontalo.

Defri Sofyan mengatakan, RUU Minerba yang memberikan izin kepada kampus untuk mengelola tambang dikhawatirkan akan merusak integritas perguruan tinggi.

Ia sangat menyayangkan rencana tersebut disambut baik oleh Forum Rektor Indonesia, dengan alasan bisa membantu menurunkan biaya pendidikan yang semakin membebani masyarakat saat ini.

Khawatirnya, kata Defri, jika hal ini benar-benar terjadi, maka praktik pertambangan yang merusak lingkungan dan merampas ruang hidup rakyat akan didukung dengan justifikasi ilmiah yang tendensius.

Di sisi lain, langkah ini juga bisa menjadi bentuk pembungkaman, karena akademisi yang mengkritik agenda pemerintah tersebut akan dianggap bertentangan dan dibatasi ruang geraknya.

“Potensi konflik, ketimpangan ruang, dan risiko kerusakan ekologis akan semakin tinggi, karena tidak akan ada lagi kritik dari lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya menjadi benteng pertahanan rakyat dari agenda-agenda yang bertentangan dengan akal sehat penguasa,” jelasnya.

Defri memandang, adanya upaya pembungkaman struktural terhadap nalar-nalar kritis. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi tempat untuk memproduksi wacana kritis, justru akan disibukkan dengan bisnis tambang yang merusak, melalui RUU Minerba yang dikebut maraton oleh DPR.

“Argumentasi yang menyatakan bahwa konsesi tambang dapat membantu menurunkan biaya pendidikan adalah bentuk pengingkaran terhadap amanat UUD 1945, yang mewajibkan pemerintah sebagai penyelenggara negara untuk memberikan hak pendidikan kepada warganya,” tegasnya.

Dengan begitu, Walhi Gorontalo meminta agar usulan pemberian izin pertambangan untuk perguruan tinggi dalam RUU Minerba dicabut. Mereka juga mengecam upaya pemerintah dan DPR yang mendorong perguruan tinggi untuk mengelola pertambangan.

Selain itu, Walhi Gorontalo juga mendesak pemerintah untuk segera melakukan moratorium terhadap pemberian izin perusahaan ekstraktif pemegang konsesi pertambangan, perkebunan, dan hak pengelolaan hutan yang merusak lingkungan serta mengancam ruang hidup rakyat.

Walhi Gorontalo juga mengajak lembaga perguruan tinggi di Gorontalo dan daerah lainnya untuk secara tegas menyatakan penolakan terhadap usulan pemberian izin prioritas pertambangan dalam RUU Minerba.

“Langkah ini diambil sebagai upaya untuk mempertahankan integritas dan marwah akademik, demi mencerdaskan kehidupan bangsa,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya