Liputan6.com, Ponorogo - Kesenian tradisional tidak selalu lahir dari kegembiraan dan perayaan. Di masa Kerajaan Majapahit, sebuah tarian diciptakan sebagai media kritik halus terhadap penguasa.
Reog Ponorogo, yang kini menjadi warisan budaya nasional. Bermula dari kegelisahan seorang penasihat kerajaan terhadap kondisi pemerintahan Majapahit di bawah Raja Bre Kertabumi.
Advertisement
Mengutip dari berbagai sumber, Ki Ageng Ketut Suryo Alam, yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, memilih jalan damai dalam menyampaikan kritik kepada rajanya. Setelah meninggalkan istana, ia mendirikan padepokan di Desa Kutu, wilayah Wengker, tempat ia mengajarkan ilmu kanuragan dan kesaktian kepada para muridnya.
Advertisement
Baca Juga
Keprihatinan terhadap kondisi kerajaan mendorong Ki Ageng Kutu menciptakan drama tari. Ia memadukan pengalamannya sebagai penasihat kerajaan dengan keahlian murid-muridnya dalam seni bela diri untuk menghasilkan pertunjukan yang mengkritisi pemerintahan tanpa kekerasan.
Dalam tarian Reog dirancang sebagai simbol dari kondisi Majapahit saat itu. Singo Barong dengan mahkota bulu merak menggambarkan kesombongan raja yang mengabaikan nasihat para penasihatnya.
Penari Jathilan, pria yang bergerak lemah gemulai layaknya wanita, merepresentasikan melemahnya spirit keprajuritan di lingkungan istana. Tokoh Bujang Ganong dengan wajah merah dan hidung panjang melambangkan pujangga bijaksana yang terabaikan.
Gerakan penari kuda yang berputar mengelilingi raja menunjukkan upaya penguasa mempertahankan wibawa di hadapan rakyatnya, meski kekuasaannya mulai goyah. Perubahan terjadi setelah Ki Ageng Kutu wafat.
Ki Ageng Mirah, yang meneruskan kesenian ini pada masa Bupati Ponorogo pertama, Bathoro Katong, mengubah narasi kritik sosial menjadi cerita Panji. Ia memperkenalkan tokoh-tokoh baru seperti Prabu Kelana Sewandana dan Dewi Songgolangit dalam kisah perseteruan antara Kerajaan Kediri dan Bantar Angin.
Penulis: Ade Yofi Faidzun