Peristiwa 14 Februari 1945: Pemberontakan PETA di Blitar

Berkat pemberontakan ini, para prajurit PETA di daerah lain pun memiliki keinginan lebih kuat untuk merdeka. Salah satu dampaknya adalah penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Peristiwa tersebut berujung pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

oleh Switzy Sabandar Diperbarui 14 Feb 2025, 15:00 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2025, 15:00 WIB
Tak Hanya Hari Valentine, Selamat Memperingati Pemberontakan PETA
Jangan hanya mengingat Hari Valentine, karena 14 Februari juga merupakan hari peringatan pemberontakan PETA.... Selengkapnya

Liputan6.com, Blitar - Peristiwa pemberontakan PETA di Blitar merupakan salah satu perjuangan penting bangsa Indonesia dalam meraih kemerdekaan. Peristiwa yang dipimpin oleh Shodancho Soeprijadi ini terjadi pada 14 Februari 1945.

Tentara Pembela Tanah Air atau PETA dibentuk oleh Panglima Tentara Ke-16, Kumakici Harada, pada 3 Oktober 1943. Pembentukannya ditandai dengan dikeluarkannya peraturan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan tentara PETA.

Awalnya, PETA dibentuk untuk mendukung militer Jepang dalam upaya pertahanan diri melawan sekutu. Namun bagi bangsa Indonesia, hal tersebut digunakan sebagai kesempatan untuk menimba ilmu militer.

Pemberontakan PETA di Blitar berawal dari keresahan dan keprihatinan Soeprijadi, seorang shodancho atau komandan peleton PETA yang bertugas di Blitar. Ia prihatin terhadap nasib rakyat Indonesia di bawah pendudukan Jepang yang dipaksa kerja rodi atau romusha. Akibatnya, banyak rakyat meninggal karena kelelahan, kelaparan, dan penyakit.

Selain itu, para prajurit pribumi mendapat diskriminasi. Mereka diwajibkan memberi hormat kepada tentara Jepang meski berpangkat lebih rendah. Menyedihkannya lagi, ayahnya yang bernama R Darmadi pulang dengan kondisi mengenaskan setelah mengikuti kursus adminstrasi bagi para pangreh praja di Jakarta.

Melihat hal tersebut, pandangan Soeprijadi terhadap Jepang berubah. Ia bertekad melakukan pemberontakan terhadap Jepang.

Pada 14 Februari 1945 di Blitar, ia bersama pasukan melakukan perlawanan terhadap Jepang. Peristiwa ini terjadi bertepatan dengan pertemuan antara anggota dan komandan PETA di Blitar.

Pasukan PETA membawa banyak perlengkapan dan logistik, termasuk persenjataan. Pada pukul 03.00, pasukan PETA melancarkan serangan dengan menembakkan mortir ke Hotel Sakura.

Hotel tersebut menjadi kediaman para perwira militer Jepang. Selain itu, markas Kempeitai juga ditembaki senapan mesin.

Melihat pemberontakan yang dilakukan PETA, Jepang pun langsung bertindak. Hal ini membuat Soeprijadi gagal menggerakkan kesatuan lain untuk bergabung ke dalam pemberontakan.

Konon, Jepang sudah mengetahui rencana pemberontakan tersebut. Hal itu bisa dilihat dari gedung-gedung yang kosong.

Jepang mengerahkan prajurit lokal untuk menghentikan pemberontakan. Langkah ini berhasil menghambat pergerakan Soeprijadi dan pengikutnya karena Soeprijadi hanya memerintahkan untuk membunuh prajurit Jepang saja.

Beberapa prajurit PETA yang terlibat pemberontakan ditangkap dan diadili di Mahkamah Militer Jepang di Jakarta. Ada sekitar 68 orang yang diadili.

Beberapa dari mereka ada yang dihukum seumur hidup dan ada yang dihukum mati. Beberapa terpidana mati adalah dr. Ismail, Muradi, Halir Mankudijoyo, Sunanto, dan Sudarmo.

Namun, dari jumlah tersebut tak ditemukan nama Soeprijadi. Hingga kini, nasib Soeprijadi tak diketahui.

Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Sukarno mengumumkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Namun, Soeprijadi tidak muncul sehingga digantikan oleh Imam Muhammad Suliyoadikusumo.

Meski pemberontakan yang dipimpin Soeprijadi gagal, tetapi cukup memberi dampak bagi Indonesia. Sejak saat itu, pandangan rakyat Indonesia terhadap Jepang berubah.

Tentara Jepang di Jawa pun merasa cemas. Bahkan, militer Jepang tak memberi kecaman langsung. Mereka justru memberi keringanan hukuman terhadap para prajurit PETA yang terlibat dalam pemberontakan.

Berkat pemberontakan ini, para prajurit PETA di daerah lain pun memiliki keinginan lebih kuat untuk merdeka. Salah satu dampaknya adalah penculikan Sukarno-Hatta ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Peristiwa tersebut berujung pada diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Penulis: Resla

Video Pilihan Hari Ini

Live dan Produksi VOD

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya