Liputan6.com, Yogyakarta - Peralihan fungsi Jembatan Progo dari jalur pengangkut tebu menjadi urat nadi transportasi dua kabupaten menyimpan kisah ketangguhan struktur baja berusia 96 tahun. Jembatan yang ambruk pada 2025 ini telah melewati berbagai fase transformasi sejak masa kolonial Belanda hingga era modern.
Mengutip dari berbagai sumber, jembatan Srandakan ini dibangun pada tahun 1925. Struktur baja sepanjang ratusan meter ini awalnya dirancang sebagai jalur logistik pengangkut tebu.
Industri gula yang berkembang pesat di kawasan Bantul dan Kulon Progo kala itu mendorong pemerintah kolonial Belanda membangun infrastruktur penghubung ini. Empat tahun pengerjaan dibutuhkan sebelum akhirnya jembatan ini diresmikan pada 1929.
Advertisement
Baca Juga
Memasuki era kemerdekaan, kebutuhan akan akses transportasi yang menghubungkan Kulon Progo dan Bantul semakin mendesak. Pemerintah mengambil langkah dengan mengalihfungsikan jembatan lori ini menjadi jalur transportasi umum pada 1952.
Modernisasi jembatan dilakukan untuk mengakomodasi pertumbuhan lalu lintas. Lantai kayu yang telah melayani selama lebih dari tiga dekade diganti dengan konstruksi beton pada 1962.
Selama enam tahun dari 1979 hingga 1985, jembatan ini mengalami perbaikan menyeluruh termasuk pelebaran untuk mengakomodasi volume kendaraan yang terus meningkat. Tantangan terberat datang pada tahun 2000 ketika dua tiang penyangga utama ambruk.
Peristiwa ini menjadi titik balik yang mendorong pemerintah untuk mulai merencanakan pembangunan jembatan baru. Meski mengalami kerusakan serius, Jembatan Progo tetap beroperasi dengan pengawasan hingga Jembatan Srandakan 2 selesai dibangun pada 2007.
Memasuki usia ke-96, jembatan bersejarah ini akhirnya roboh pada 6 Februari 2025. Meski demikian, Jembatan Srandakan 2 dan pembangunan Jembatan Pandansimo Srandakan 3 menjadi konektivitas kedua kabupaten tetap terjaga.
Penulis: Ade Yofi Faidzun