Kenaikan Imbal Hasil Obligasi AS Bakal Warnai IHSG pada Awal Maret 2021

Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menuturkan, kenaikan yield obligasi pemerintah AS jangka panjang menjadi berita utama pasar keuangan dunia.

oleh Agustina Melani diperbarui 01 Mar 2021, 11:09 WIB
Diterbitkan 01 Mar 2021, 06:52 WIB
IHSG
Pekerja beraktivitas di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Sebelumnya, Indeks harga saham gabungan (IHSG) menembus level 5.600 pada penutupan perdagangan pertama bulan ini, Senin (3/4/2017). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Gerak Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan dipengaruhi sejumlah sentimen pada pekan pertama Maret 2021. Sentimen global akan mendominasi terutama mengenai kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).

 

Direktur Anugerah Mega Investama, Hans Kwee menuturkan, kenaikan yield obligasi pemerintah AS jangka panjang menjadi berita utama pasar keuangan dunia. Untuk tenor 10 tahun, yield sempat naik melewati level 1,6 persen. Hans mengatakan, yield tersebut termasuk tertinggi dalam lebih dari satu tahun terakhir.

Akan tetapi, perdagangan akhir pekan, yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun terpantau mulai turun. Namun, posisi yield itu masih tetap berada di atas level 1,5 persen.

“Lonjakan yield tersebut didorong ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inflasi naik akibat sentimen program vaksinasi COVID-19. Selain itu, potensi pengesahan stimulus fiskal jumbo AS berpotensi mendorong pemulihan ekonomi,” kata dia dalam keterangan tertulis, Senin (1/3/2021).

Hans menambahkan, stimulus besar AS juga meningkatkan defisit anggaran yang akhirnya mendorong penerbitan obligasi baru dengan yield lebih tinggi.

"Bila yield government bond US masih terus naik, kemungkinan besar pasar saham dunia masih akan terus terkoreksi,”kata Hans.

 

 

**Ibadah Ramadan makin khusyuk dengan ayat-ayat ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Beri Tekanan pada Ekonomi

Wall Street Anjlok Setelah Virus Corona Jadi Pandemi
Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Hans mengatakan, kenaikan yield obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun memberi tekanan pada ekonomi. Hal ini karena digunakan untuk suku bunga hipotek dan pinjaman mobil. Kenaikan yield ini juga menempatkan imbal hasil acuan US Treasury berada di atas dividen yield saham-saham di dalam indeks S&P 500.

Hal tersebut berakibat ekuitas yang dianggap sebagai aset berisiko telah kehilangan premi atas obligasi dan dianggap lebih mahal. Hal ini yang memicu aksi jual investor terhadap saham-saham terutama di saham sektor teknologi yang lebih diuntungkan dengan suku bunga rendah.

Hans mengatakan, sektor teknologi selama ini mengandalkan pinjaman murah untuk mendorong pertumbuhan, sedangkan sektor yang diuntungkan karena pembukaan kembali ekonomi mengalami kenaikan seperti sektor energi, industri dan keuangan.

Upaya Bank Sentral Eropa dan Asia

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Seorang pria melihat layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Di sisi lain, Hans menilai, bank sentral di kawasan Asia hingga Eropa meningkatkan upaya menenangkan kepanikan pasar setelah yield US treasury naik ke level tertinggi dalam setahun.

Ia menuturkan, bank sentral akan merespons kenaikan ini dengan campuran kebijakan pembelian surat utang dan rencana intervensi. Hal ini tidak terlepas dari mulai naiknya imbal hasil obligasi beberapa negara di Kawasan Eropa akibat kenaikan yield obligasi pemerintah Amerika Serikat.

Hans mengatakan, kenaikan suku bunga jangka panjang yang terlalu cepat pada awal pemulihan ekonomi, bahkan jika kenaikan itu mencerminkan prospek pertumbuhan yang membaik, bisa menyebabkan penarikan dukungan terhadap kebijakan yang longar.

“Hal ini bila terjadi terlalu dini dan secara tiba-tiba dapat menganggu pemulihan ekonomi yang masih sangat rapuh,” ujar dia.

Sentimen Lainnya

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Orang-orang berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Sentimen lainnya, menurut Hans, Chairman Federal Reserve, Jerome Powell mengesampingkan ancaman inflasi dan mengatakan dibutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk mencapai target inflasi bank sentral secara konsisten.

Dalam kesaksian di depan Komite Jasa Keuangan DPR, Powell mengatakan inflasi diperkirakan akan berubah-ubah setelah ekonomi dibuka kembali akibat peningkatan permintaan.

The Fed memperkirakan inflasi tidak akan meningkat tajam dan mengatakan The Fed memiliki alat untuk memerangi kenaikan inflasi jika diperlukan.

“The Fed juga berjanji mengembalikan ekonomi ke kondisi full employment seperti sebelum pandemi Covid 19. Jerome Powell juga menegaskan bahwa bank sentral tidak akan menyesuaikan kebijakan sampai ekonomi jelas-jelas menunjukkan perbaikan,” kata dia.

Hans menambahkan, perkembangan program vaksinasi COVID-19 juga masih menjadi perhatian. Program vaksin USA terlihat sukes setelah diperkirakan kawasan tersebut diperkirakan mendapatkan kekebalan kawasan pada musim semi atau musim panas 2021.

 “Artinya sekitar Maret atau Juni hal ini sudah terjadi. Kekebalan kawasan terbentuk ketika sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap virus, sehingga virus sulit menyebar,” ujar dia.

Hal ini dapat terjadi baik karena orang telah divaksinasi atau telah terinfeksi dan terbentuk antibodi untuk menangkal infeksi baru.

Pejabat kesehatan masyarakat memperkirakan lebih dari 70 persen populasi perlu divaksinasi untuk mencapai kekebalan kawasan. Data Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC), lebih dari 68 juta dosis vaksin virus korona telah diberikan di seluruh negeri saat ini. 

Sentimen Domestik

20151102-IHSG-Masih-Berkutat-di-Zona-Merah-Jakarta
Suasana di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (2/11/2015). Pelemahan indeks BEI ini seiring dengan melemahnya laju bursa saham di kawasan Asia serta laporan kinerja emiten triwulan III yang melambat. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sedangkan dari dalam negeri, ekonomi Indonesia diharapkan mulai pulih di kuartal I 2021 setelah penurunan suku bunga dan beberapa stimulus dilakukan. Konsumsi rumah tangga menyumbang 57,7 persen terhadap total produk domestik bruto (PDB) pada 2020 juga diperkirakan akan pulih pada 2021.

Konsumsi rumah tangga diperkirakan akan menunjukkan perbaikan seiring pemerintah menggelontorkan program perlindungan sosial dalam PEN. Program PEN 2021 mencapai Rp699,43 triliun atau naik 21 persen dari realisasi sementara 2020 mencapai Rp579,78 triliun.

Alokasi anggaran ini untuk perlindungan sosial sebesar Rp157,41 triliun, kesehatan Rp176,30 triliun, dukungan UMKM dan korporasi Rp186,81 triliun, insentif usaha Rp53,86 triliun, program prioritas Rp125,06 triliun.

IHSG Bakal Terkoreksi

IHSG Dibuka di Dua Arah
Pekerja melintas di dekat layar digital pergerakan saham di Gedung BEI, Jakarta, Rabu (14/10/2020). Pada pembukaan perdagangan pukul 09.00 WIB, IHSG masih naik, namun tak lama kemudian, IHSG melemah 2,3 poin atau 0,05 persen ke level 5.130, 18. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Hans menambahkan, masih naiknya tren yield government bond USA dan terkoreksi Sebagian pasar saham global membuat kami perkirakan IHSG masih berpotensi terkoreksi.

“Adapun level support IHSG ada di level 6.173 sampai 6.018 dan resistance di level 6.302 sampai 6.350,” kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya