Pungutan Ekspor CPO Bakal Turun, Bagaimana Dampaknya ke Triputra Agro?

PT Triputra Agro Persada (TAPG) mengaku tak terlalu terimbas dari penerapan tarif pungutan ekspor tersebut.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 15 Mei 2021, 19:24 WIB
Diterbitkan 15 Mei 2021, 19:24 WIB
Sawit
Berdasarkan data Dinas Pertanian dan Perkebunan provinsi itu per tahun 2019, kabupaten dengan Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit terluas di Aceh, yakni 71,661.53 hektare. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Liputan6.com, Jakarta - Tarif pungutan ekspor sawit (levy) dikabarkan bakal turun, yang sebelumnya naik dengan angka maksimal hingga USD 255 per ton. Sehubungan dengan itu, PT Triputra Agro Persada (TAPG) mengaku tak terlalu terimbas dari penerapan tarif pungutan ekspor crude palm oil (CPO).

"Karena kita sudah maintain dari awal, presentasinya-pun kami maintain. Maka impact-nya terhadap budget tidak ada. Dan ini kenapa harga kami tetap di atas rata-ra adari yang kami budget," kata Direktur PT Triputra Agro Persada Tbk, Sutedjo Halim dalam diskusi virtual, Sabtu (15/5/2021).

Tedjo menuturkan, Indonesia termasuk negara yang sukses menjalankan program biodisel, termasuk melalui didirikannya Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) kelapa sawit pada 2015.

Mengungguli Amerika Serikat, Brazil, hingga Eropa. Alasannya didirikannya BPBD Sawit, selain untuk emisi karbon, juga untuk menyelaraskan terciptanya permintaan secara kontinyu.

"2015 BPDP didirikan oleh industri dan dananya untuk industri. Industri membiayai biodisel dengan kesungguhan hati dan komitmen untuk menjaga kestabilan harga. Terbukti sejak 2015 harga tidak pernah jatuh di bawah USD 500. Artinya harga ini sangat stabil,” ujar Tedjo.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Aturan Baru Tarif Pungutan Ekspor Sawit

Sawit
Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh 2019 menyebut terdapat 61 perusahaan kelapa sawit di provinsi itu. Sebanyak 39 diantaranya masih beroperasi, delapan dalam tahap pembangunan, dan 14 lainnya dinyatakan kolaps. (Liputan6.com/ Rino Abonita)

Pemerintah menerbitkan aturan baru tarif pungutan ekspor sawit (levy). Aturan baru itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.05/2020 tentang Perubahan PMK Nomor 57/PMK.05/2020 tentang Tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.

Dalam PMK yang baru diteken pada 3 Desember 2021 itu, pungutan ekspor CPO (crude palm oil) bisa naik secara berkala menyesuaikan harga referensi sawit. Ekspor CPO dikenakan tarif pungutan sebesar USD 55 per ton jika harganya berada di bawah atau sama dengan USD 670 per ton.

Selanjutnya, jika harga CPO berada pada rentang USD 670-695 per ton, maka tarif ekspornya mencapai USD 60 per ton. Lalu, apabila harganya naik lagi sebesar USD 25 per ton, tarif ekspor juga naik sebesar USD 15 per ton.

Hingga pada angka maksimalnya, tarif pungutan ekspor bisa tembus sebesar USD 255 per ton jika harga CPO tembus di atas USD 995 per ton.

Namun, setelah dihitung uang oleh Pemerintah dan BPDP, Tedjo mengatakan kemungkinan pemerintah akan memutuskan bersama dengan industri dan stakeholdernya penurunan di level yang lebih baik di semester II.

"Apakah di bawah 50 atau 100 nanti akan diputuskan bersama," kata dia.

Ia menuturkan, pembahasan penghitungan ulang tarif pungutan ekspor sawit masih akan dibahas oleh BPDP dan delapan kementerian.

"BPDP sedang menghitung ulang dan akan disampaikan kepada 8 kementerian dan akan dibahas dalam waktu 1 2 minggu ke depan. Mudah-mudahan levy yang maksimalnya tadi USD 255 akan turun di bawah USD 200 per ton," ia menambahkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya