Liputan6.com, Jakarta - Bursa saham global rontok pada perdagangan Kamis, 19 Agustus 2021. Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street kompak berguguran dengan indeks Dow Jones turun 1,1 persen ke posisi 34.960 pada Rabu, 18 Agustus 2021.
Wall street yang tertekan juga berdampak terhadap bursa saham Asia. Risalah the Fed pada Juli 2021 dan saham teknologi China yang merosot bebani bursa saham Asia. Hal tersebut juga berdampak terhadap laju Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG melemah 2,06 persen ke posisi 5.992 pada Kamis, 19 Agustus 2021.
Baca Juga
Penurunan bursa saham global tersebut juga dipicu rilis risalah rapat the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) yang menunjukkan peluang mengurangi pembelian obligasi atau tapering off. Isu tapering the Fed ini kembali muncul sehingga menjadi sentimen negatif di pasar saham.
Advertisement
Bicara soal tapering, apa tapering tersebut? Bagaimana dampaknya ke pasar saham Indonesia?
Mengutip laman Investopedia, tapering adalah kegiatan yang dilakukan bank sentral yang telah terlibat dalam pelonggaran atau quantative easing (QE) untuk mengurangi QE.
Hal ini dapat dilakukan dengan memperlambat pembelian aset. Dengan demikian kebalikan dari pelonggaran quantative easing (QE) yang diterapkan oleh bank sentral. Tapering dilakukan setelah kebijakan QE mencapai efek yang diinginkan dalam meransang dan stabilkan ekonomi.
Upaya tapering tersebut juga terutama ditujukan pada tingkat suku bunga dan upaya mengendalikan persepsi investor terhadap arah masa depan suku bunga.
Sementara itu, Analis CSA Research Institute Reza Priyambada mengatakan, tapering adalah pengetatan kebijakan moneter yang dilakukan bank sentral. Hal ini bisa dengan menaikkan suku bunga dan pengurangan stimulus.
Direktur PT Panin Asset Management, Rudiyanto menuturkan, tapering the Fed sebagai langkah mengurangi pembelian obligasi.
Sebelumnya bank sentral Amerika Serikat (AS) telah menerapkan pelonggaran kebijakan dengan mencetak uang untuk membeli aset terutama obligasi pemerintah dan swasta serta KPR perbankan. Hal ini dilakukan untuk meransang pertumbuhan ekonomi ketika kondisi kurang baik.
"Misalkan (bank sentral AS-red) beli obligasi USD 100 miliar, itu akan dikurangi,” kata dia saat dihubungi Liputan6.com, Sabtu (21/8/2021).
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pertimbangan Tapering
Ia menuturkan, tapering itu dilakukan seiring kemungkinan bank sentral AS telah melihat inflasi mulai naik. Kemudian pemulihan ekonomi sudah terjadi dengan tingkat pengangguran AS menurun.
Langkah tapering itu, menurut Rudiyanto dilakukan untuk menjaga inflasi sehingga tidak terlalu tinggi dan mencegah nilai mata uang turun. Selain AS, Rudiyanto menuturkan, China juga sudah melakukan tapering seiring harga properti yang melonjak.
"AS sudah tahap pemulihan. Harga komoditas lagi tinggi, inflasi tinggi di sana (AS-red), ada baiknya juga dikurangi (pembelian obligasi-red),” ujar dia.
Advertisement
Apa Dampaknya ke Pasar Modal?
Rudiyanto mengatakan, selama QE, aliran dana investor masuk ke pasar modal AS dan negara berkembang. Investor tersebut membeli obligasi pemerintah negara berkembang termasuk Indonesia.
"Kalau mereka pinjam dengan bunga rendah 0,25 persen, dan beli obligasi Indonesia dengan bunga enam persen,” ujar dia.
Dengan demikian, Rudiyanto menuturkan, ada kekhawatiran penarikan dana dari negara berkembang kalau tapering dilakukan. Hal tersebut menurut Rudiyanto menjadi sentimen negatif untuk pasar saham.
"Lebih ke sentimen negatif kalau di pasar saham. Efeknya ke obligasi negara. (Selama ini atau QE berlangsung-red) uang tapering masuk ke obligasi,” kata dia.
Meski demikian, Rudiyanto pasar saham Indonesia akan bertahan di tengah gonjang ganjing tapering. Hal ini lantaran investor domestik makin mendominasi di pasar saham. Di sisi lain, dana simpanan di perbankan juga melimpah, dan kepemilikan investor asing di obligasi mulai turun. “Kalau investor asing jual, lokal bisa beli. Investor lokal makin mendominasi sehingga gejolak tidak terlalu besar,” ujar dia.
Rudiyanto menuturkan, tapering dilakukan the Fed bukan pertama kali. The Fed pernah melakukan tapering pada 2013, dan mengurangi pembelian obligasi secara bertahap.Rudiyanto memprediksi, the Fed pun akan melakukan hal yang sama dengan bertahap kurangi pembelian obligasi.
Meski demikian, kali ini the Fed telah mengkomunikasikan jauh-jauh hari sehingga tidak akan terlalu menimbulkan gejolak di pasar keuangan.
"2013 agak mendadak. Kalau sekarang cenderung komunikasi jauh-jauh hari. (Pengurangan pembelian aset-red) tidak skala besar, bertahap, ada unsur jaga stabilitas pasar,” ujar dia.