Menguak Dampak Tapering Off untuk Pasar Modal Indonesia

The Federal Reserve yang mengkomunikasikan lebih baik rencana tapering off sehingga pasar menjadi lebih siap.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 30 Okt 2021, 07:25 WIB
Diterbitkan 30 Okt 2021, 07:25 WIB
FOTO: PPKM Diperpanjang, IHSG Melemah Pada Sesi Pertama
Karyawan mengambil gambar layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Sebanyak 111 saham menguat, 372 tertekan, dan 124 lainnya flat. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Tapering off atau pengurangan stimulus oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve (The Fed) kali ini dinilai tidak akan berdampak besar pada pasar modal tanah air. 

Direktur PT Ekuator Swarna Investama, Hans Kwee menuturkan, ketua The Fed, yakni Jerome Powell, sudah mengkomunikasikan dengan cukup jelas mengenai tapering off. Sehingga pasar modal dinilai lebih siap.

"Jadi kalau data tenaga kerja cukup bagus, pertumbuhan ekonomi Amerika cukup bagus, nampaknya di pertemuan 2-3 November nanti mereka akan memulai tapering,” kata Hans dalam diskusi virtual Outlook Pasar Modal 2022, ditulis Sabtu (30/10/2021).

Saat ini, Hans mengatakan The Fed memiliki quantitative easing (QE) senilai USD 120 miliar per bulan. Kemungkinan akan mulai dieksekusi pada awal November 2021, dan secara bertahap akan selesai pada pertengahan tahun depan.

"Rasanya dampak dari tapering ini enggak terlalu besar pada pasar kita karena kalau besar pasti gejolaknya sudah terasa jauh-jauh hari,” ujar Hans.

Namun bukan berarti tapering off tidak berdampak sama sekali bagi Indonesia. Hans menyebutkan, dampak yang bisa dilihat dari tapering kali ini adalah yield obligasi AS yang bergerak naik. Sehingga memberikan tekanan pada obligasi pemerintah RI.

Sebelumnya tapering off juga pernah terjadi pada 2013. Hans menerangkan, saat itu tapering off berdampak pada tingginya arus dana asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia akibat kebijakan quantative easing (QE), setelah krisis keuangan 2008.

Saat itu, transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit mencapai lebih dari 3 persen. Menyebabkan Rupiah melemah dari Rp 9.790 per USD di akhir Mei 2021 menjadi Rp 14.730 per USD di akhir September 2015. Sementara IHSG turun dari level 5.200 ke level 4.200 pada akhir 2013.

"Tapi sekarang ceritanya sudah sangat berbeda. Fed itu cukup transparan untuk komunikasikan kebijakannya. Jadi pasar kelihatan tidak panik seperti dulu,” kata dia.

Hans beranggapan, kebijakan ini sudah diantisipasi pelaku pasar dan pembuat kebijakan oleh banyak otoritas di dalam negeri. Sehingga mestinya pasar tidak akan panik. Di sisi lain, kondisi ekonomi makro Indonesia lebih baik ketimbang 2013.

"Mata uang negara berkembang termasuk Indonesia saat ini pada posisi undervalued. Kemungkinan kecil Rupiah akan melemah,” imbuhnya.

Selain itu, dominasi kepemilikan asing di instrumen keuangan Indonesia relatif lebih kecil, baik di pasar obligasi maupun saham. Hal itu dibarengi dengan peningkatan investor ritel yang signifikan selama beberapa tahun terakhir. 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Pasar Obligasi RI Bakal Lebih Kuat Hadapi Tapering Off The Fed

IHSG Menguat
Layar yang menampilkan informasi pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Senin (8/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat 1,34% ke level 5.014,08 pada pembukaan perdagangan sesi I, Senin (8/6). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pasar obligasi Indonesia diperkirakan lebih kuat dalam menghadapi perubahan sentimen global. Sepanjang tahun berjalan sampai akhir September 2021, indeks pasar obligasi Indonesia sudah menguat 3,9 persen.

Dengan selisih imbal hasil terhadap US Treasury yang masih lebar, pasar obligasi Indonesia membukukan kinerja lebih baik menghadapi rencana Fed tapering.

Inflasi yang terkendali,pengelolaan fiskal yang baik, dan tingginya likuiditas domestik membantu penguatan pasar obligasi Indonesia.

"Penguatan pasar obligasi diperkirakan masih akan terus berlanjut hingga akhir tahun," kata Head of Investment Specialist Manulife Investment Management Freddy Tedja melalui artikel edukasinya.   

Sinyal Fed tapering atau pengurangan stimulus dari bank sentral Amerika Serikat terlihatsemakin jelas, dan diperkirakan akan berlangsung pada kuartal keempat 2021. Kenaikan Fed Rate diproyeksikan akan maju lebih cepat dan terjadi pada  2022, menjadi 0,50 persen. 

Sehingga target inflasi dan pertumbuhan juga akan berubah. Inflasi tahun ini diperkirakan lebih tinggi dibandingkan perkiraan sebelumnya, karena adanya disrupsi rantai pasokan global yang lebih persisten dari perkiraan.

The Fed juga merevisi pertumbuhan ekonomi AS menjadi 5,9 persen pada 2021 sebagai dampak dari peningkatan kasusCOVID-19 varian delta di Amerika Serikat (AS) pada kuartal ketiga 2021. 

Meski demikian, pada 2022, aktivitas ekonomi diperkirakan lebih baik seiring dengan membaiknya kondisi pandemi. Proyeksi PDB AS pada 2022 diperkirakan meningkat menjadi 3,8 persen dari semula 3,3 persen.

Perkembangan Kawasan Asia

Pasar Saham di Asia Turun Imbas Wabah Virus Corona
Seorang wanita berjalan melewati layar monitor yang menunjukkan indeks bursa saham Nikkei 225 Jepang dan lainnya di sebuah perusahaan sekuritas di Tokyo, Senin (10/2/2020). Pasar saham Asia turun pada Senin setelah China melaporkan kenaikan dalam kasus wabah virus corona. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Di kawasan Asia, kata Freddy, meredanya efek low base awal pandemi pada 2020 yang membuat pertumbuhan ekonomi paruh pertama 2021 melonjak sangat tinggi, membuat pertumbuhan ekonomikawasan Asia akan mengalami normalisasi di semester kedua 2021.

Dia memperkirakan, ekspor menjadi penopang pemulihan ekonomi, terutama dengan permintaan barang elektronik seperti chip komputer.

Setelah melonjak pada paruh pertama 2021, valuasi pasarsaham Asia saat ini telah kembali turun berada di kisaran rata-rata 5 tahun.

"Ini level yang atraktif bagiinvestor. Terlebih lagi untuk kawasan ASEAN, di mana inflasi masih rendah dan terkendali belum menimbulkan tekanan bagi bank sentral untuk melakukan pengetatan kebijakan. Kondisi ini tentunya suportif bagi pasar saham," kata Tedja.

 

Reporter: Elizabeth Brahmana

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya