Liputan6.com, Jakarta Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat mengalami penurunan tajam sebesar 3 persen hingga sentuh level 5.967 pada perdagangan hari ini, Senin 24 Maret 2025. Pelemahan IHSG ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik domestik maupun global, dengan tekanan utama berasal dari kondisi ekonomi Amerika Serikat.
Menurut analis dari Central Capital, Wahyu Tri Laksono, tren negatif IHSG sebenarnya sudah terlihat sejak kuartal keempat tahun lalu, sehingga penurunan ini bukan sesuatu yang mengejutkan.
Baca Juga
"Jadi pelemahan ini harusnya sudah bisa diantisipasi atau diduga. Tren negatif biasanya bertahan dalam jangka menengah, bukan hanya sehari atau dua hari," ujarnya kepada Liputan6.com, Senin (24/3/2025).
Advertisement
Wahyu menjelaskan bahwa faktor domestik, seperti stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), memang berdampak, tetapi bukan faktor utama yang menyebabkan anjloknya IHSG.
"Pelemahan rupiah dan IHSG saat ini jelas karena faktor fundamental global, terutama dari Amerika Serikat," tambahnya.
Ekonomi Makin Tak Pasti
Ia menyoroti bahwa ketidakpastian ekonomi global, kebijakan perdagangan proteksionis yang diprakarsai Donald Trump, serta daya tarik pasar modal AS telah membuat investor global menarik dananya dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Dalam kondisi ekonomi global yang tidak pasti, dengan perang tarif dan perang dagang yang dipicu oleh Trump serta kuatnya ekonomi AS, pelarian modal ke Wall Street sulit dihindari," kata Wahyu.
Faktor Ekonomi Global
Selain itu, kebijakan moneter dan fiskal Bank Indonesia (BI) juga dinilai bukan faktor utama dalam pelemahan IHSG. Menurut Wahyu, kebijakan domestik tetap bergantung pada faktor global, terutama kebijakan ekonomi AS dan China.
"Hedge fund bahkan menjadi pembeli bersih ekuitas AS selama lima hari berturut-turut pekan lalu, dengan kecepatan tertinggi sejak November 2024. Ini menunjukkan betapa kuatnya arus modal yang mengarah ke Wall Street," ungkapnya.
Investor global disebut telah menggelontorkan dana sebesar 520 miliar dolar AS ke pasar ekuitas AS dalam 12 bulan terakhir, melampaui rekor tertinggi sebelumnya yang terjadi pada tahun 2021. Sebagai perbandingan, saham pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, hanya mencatat arus masuk bersih sebesar 220 miliar dolar AS, atau melemah 57 persen.
Wahyu menambahkan, kebijakan ekonomi Donald Trump memberikan dampak besar terhadap pasar global, termasuk IHSG. "Donald Trump membawa ketidakpastian ekonomi dan geopolitik global. Sementara Wall Street diuntungkan, bursa di kawasan lain, termasuk Indonesia, terdampak negatif sejak akhir tahun lalu," katanya.
Advertisement
Tak Ada Window Dressing
Di samping itu, tidak adanya momentum pemulihan di pasar saham domestik, seperti window dressing, Santa Rally, atau January effect, semakin memperburuk tekanan terhadap IHSG. Kebijakan proteksionis AS yang memaksa perusahaan untuk membangun pabrik di dalam negeri serta tarif impor yang tinggi membuat perdagangan global terganggu.
"AS merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Kebijakan proteksionis ini tentu akan berdampak pada ekspor Indonesia, khususnya produk pakaian, barang elektronik, dan hasil pertanian," ujarnya.
Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan bahwa pergerakan IHSG sering kali berkebalikan dengan kondisi Wall Street. Pada saat krisis global 2008-2009, IHSG justru menguat ketika Wall Street melemah. Namun, saat ini yang terjadi sebaliknya.
"Ketika Wall Street mengalami kenaikan signifikan, maka wajar jika modal global kembali tertarik ke sana, apalagi terkait Trump. USD menguat tajam, Wall Street terus terbang, dan bahkan aset seperti crypto ikut diuntungkan," imbuhnya.
Dengan kondisi ini, Wahyu memprediksi IHSG masih akan bergerak bearish dalam jangka menengah. "Secara umum, medium term ini IHSG masih bearish. Pilihannya, kabur aja dulu atau wait and see," tandasnya.
