Pemerintah Indonesia tercatat telah menjual sukuk atau obligasi syariah berdenominasi dolar Amerika Serikat (AS) bernilai US$ 1,5 miliar (Rp 16,9 triliun) dengan yield tertinggi sejak 2009. Penjualan ini dilakukan guna meningkatkan cadangan devisa dalam negeri guna memperkuat nilai tukar rupiah yang tengah melemah.
Seperti dilansir dari Bloomberg, Rabu (11/9/2013), Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Dahlan Siamat mengungkapkan, pemerintah menerbitkan kupon obligasi bertenor 5,5 tahun dengan yield 6,125%. Bagi hasil tersebut merupakan yang tertinggi untuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk global sejak Indonesia membayar 8,8% pada debut sukuknya pada 2009.
Indonesia terakhir kali menawarkan SBSN pada November dengan penjualan mencapai US$ 1 miliar bertenor 10 tahun. Yield yang ditawarkan kepada investor lebih rendah yakni 3,3%.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) telah kehilangan cadangan devisa senilai US$ 19,8 miliar sepanjang tahun ini. Kondisi ini menyulut pelemahan rupiah sebesar 14% terhadap dolar.
Dari Sukuk yang ditawarkan kepada investor, pemerintah Indonesia menerima penawaran hingga US$ 5,6 miliar, atau melebihi tiga kali lipat dari jumlah yang ditawarkan. Sementara rasio penawaran dan pembelian pada Juli hanya selisih 1,9% untuk penjualan obligasi non-syariah bertenor 10 tahun.
"Kami berhasil memperketat yield secara signifikan mengingat permintaan dari para investor begitu tinggi," ujar Dahlan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Robert Pakpahan menambahkan, pemerintah telah menugaskan Standard Chartered Plc, Citigroup Inc, dan Deutsche Bank AG untuk mengurus proses penerbitan sukuk tersebut. Dari alokasi sukuk yang ditawarkan, Indonesia mengalokasikan 15% kupon obligasi untuk para investor lokal, 25% investor Asia, 24% investor AS, 16% investor di kawasan Eropa dan sisanya sebanyak 20% untuk negara-negara muslim di Timur Tengah.
Mengacu pada penelusuran indeks saham di HSBC Holdings Plc, performa obligasi berdenominasi dolar di Indonesia merupakan yang paling buruk dibanding 11 negara berkembang lainnya sepanjang 2013. Indeks saham Indonesia tercatat anjlok 18%. Sementara sukuk berdenominasi dolar yang baru ini dijual di level premium sebesar 436 basis poin atau 4,36%.
"Kami berupaya keras dengan mengambil rentang jatuh tempo yang lebih pendek dengan yield yang layak," ujar Dahlan Siamat. Meskipun pemerintah mengharapkan jangka waktu yang lebih panjang, tapi dalam penjualannya, selera pasar juga patut diperhitungkan. (Sis/Shd)
Seperti dilansir dari Bloomberg, Rabu (11/9/2013), Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Dahlan Siamat mengungkapkan, pemerintah menerbitkan kupon obligasi bertenor 5,5 tahun dengan yield 6,125%. Bagi hasil tersebut merupakan yang tertinggi untuk Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk global sejak Indonesia membayar 8,8% pada debut sukuknya pada 2009.
Indonesia terakhir kali menawarkan SBSN pada November dengan penjualan mencapai US$ 1 miliar bertenor 10 tahun. Yield yang ditawarkan kepada investor lebih rendah yakni 3,3%.
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) telah kehilangan cadangan devisa senilai US$ 19,8 miliar sepanjang tahun ini. Kondisi ini menyulut pelemahan rupiah sebesar 14% terhadap dolar.
Dari Sukuk yang ditawarkan kepada investor, pemerintah Indonesia menerima penawaran hingga US$ 5,6 miliar, atau melebihi tiga kali lipat dari jumlah yang ditawarkan. Sementara rasio penawaran dan pembelian pada Juli hanya selisih 1,9% untuk penjualan obligasi non-syariah bertenor 10 tahun.
"Kami berhasil memperketat yield secara signifikan mengingat permintaan dari para investor begitu tinggi," ujar Dahlan.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Robert Pakpahan menambahkan, pemerintah telah menugaskan Standard Chartered Plc, Citigroup Inc, dan Deutsche Bank AG untuk mengurus proses penerbitan sukuk tersebut. Dari alokasi sukuk yang ditawarkan, Indonesia mengalokasikan 15% kupon obligasi untuk para investor lokal, 25% investor Asia, 24% investor AS, 16% investor di kawasan Eropa dan sisanya sebanyak 20% untuk negara-negara muslim di Timur Tengah.
Mengacu pada penelusuran indeks saham di HSBC Holdings Plc, performa obligasi berdenominasi dolar di Indonesia merupakan yang paling buruk dibanding 11 negara berkembang lainnya sepanjang 2013. Indeks saham Indonesia tercatat anjlok 18%. Sementara sukuk berdenominasi dolar yang baru ini dijual di level premium sebesar 436 basis poin atau 4,36%.
"Kami berupaya keras dengan mengambil rentang jatuh tempo yang lebih pendek dengan yield yang layak," ujar Dahlan Siamat. Meskipun pemerintah mengharapkan jangka waktu yang lebih panjang, tapi dalam penjualannya, selera pasar juga patut diperhitungkan. (Sis/Shd)