Liputan6.com, Jakarta Siang hari begini, biasanya aku mengantar putriku, Geya Hala, ke studio rekaman. Sekadar jaming dengan band pengiring atau mulai merekam satu dua single untuk dikirim ke produser, Pak Astono. Atau, menemaninya sesi pemotretan di studio situs berita, majalah, manggung di kafe, hotel, atau mal di Jakarta maupun di daerah lain.
Geya yang memiliki nama panggung Gea Alana tengah populer setelah dua albumnya meledak. Album pertamanya bisa terjual 200 ribu CD dan mendapat sertifikat platinum. Plakatnya masih terpasang di kamarku. Hanya plakat itu yang tersisa setelah ia memutuskan pergi dari rumah.
Advertisement
Baca Juga
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 1)
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 2)
SHOWBIZ BLAK-BLAKAN: Aku Didepak Produser Sinetron Karena Minta Pulang Syuting Lebih Awal (bagian 3)
Karena memang hanya itu yang ditinggalkan Gea untukku. Oh ya, namaku Isha, ibunya Gea. Aku kini tinggal ditemani adiknya Gea, Yami. Suamiku meninggal tiga tahun sebelum Gea debut dengan album perdananya yang laris manis itu.
Aditya Tampaknya Baik
Aku ingat betul, album itu dirilis tahun 2010. Usia Gea baru 18 tahun. Tiga tahun setelah album itu meledak, Gea berkenalan dengan bintang film tampan, sebut saja Aditya. Aku menyambut Aditya karena tampaknya pria baik-baik.
Yang paling penting, Aditya seiman dengan Gea. Tak ada pertanda buruk soal ini. Aku temani Gea menjalani pekerjaan ngamen dari kota ke kota seperti biasa. Aditya saat tidak syuting sering menemaniku dan Gea. Kepadaku, Aditya menyatakan keseriusannya.
Aku menghargai namun memintanya untuk tak buru-buru menikah. Bukannya apa-apa. Gea masih muda. Aku berharap Gea kuliah S-1 dulu seperti permintaan almarhum ayahnya. Dua tahun pacaran, keduanya makin solid. Aku turut senang karena Gea tidak gonta-ganti pacar.
Advertisement
Perasaanku Mulai Waswas
Itu membentuk citranya sebagai gadis baik-baik di mata pencinta musik Indonesia pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Selama berkarier, aku yang mengelola keuangan Gea. Selain untuk operasional harian, aku mengalokasikan uang itu untuk investasi berupa emas, deposito, membeli beberapa rumah, dan apartemen tipe studio untuk disewakan.
Pada 2015, perasaanku mulai waswas. Ini bermula ketika Gea berbisnis kuliner dengan Aditya. Yang dimintanya menurutku tidak sedikit, 200 jutaan untuk menyewa ruko, merekrut sejumlah karyawan, dan juru masak. Katanya, kekurangannya akan ditalangi Aditya. Karena baru sekali ini, aku iyakan.
Tragedi Bisnis Kuliner
“Lagipula ini, kan juga buat proses belajarku, Ma. Kalau nanti aku sudah tidak seproduktif sekarang, toko roti ini bisa aku jadikan salah satu pegangan di hari tua ya, kan?” Gea beralasan, saat itu.
Aku kucurkan uang dengan catatan harus ada laporan keuangan detail agar Gea juga paham bahwa dalam berbisnis pemasukan dan pengeluargan harus terkontrol. Gea mengangguk. Bisnis itu 100 persen dijalankan Aditya dan beberapa anak buahnya. Mengetahui hal ini, aku sejujurnya tak berharap banyak.
Benar saja, semester pertama 2016, aku baru sadar sudah tiga bulan tak ada laporan keuangan toko roti yang dinamai Yosita. Iseng, aku menghubungi Aditya untuk menanyakan kabar Yosita. Jawaban yang kudengar sesuai perkiraan.
Advertisement
Pengakuan Seorang Juru Masak
“Loh, Tante belum dikabari Gea kalau toko Yosita sudah tutup?” jawab Aditya dari ujung telepon. “Soalnya lokasi ruko kurang strategis, hanya bertahan 15 bulan,” katanya.
“Tante boleh terima laporan bulanannya, Nak? Soalnya tiga bulan terakhir, Tante tidak dikirimi,” tanyaku. Aditya bilang, semua sudah di tangan Gea. Aku makin curiga. Setahuku, Gea selalu transparan denganku.
Mulai gelisah, diam-diam aku menghubungi seorang juru masak yang pernah bekerja di toko roti Yosita. Dia bilang semester pertama memang menjanjikan, bahkan tiga bulan pertama sudah balik modal dan mulai panen untung bulan keempat. Karena tidak diurus serius oleh Aditya, penjualan terus merosot.
Rp 200 Juta Amblas
Ia lebih berat syuting film ketimbang berbisbis. Merasa sudah untung di bulan keempat, biaya promosi malah dibabat. Sementara toko roti lain bertebaran di luar sana. Ide promosi di medsos khususnya Instagram dengan menyewa admin juga ditolak Aditya. Sampai di sini, aku ikhlaskan.
Namun, keuangan Gea kini benar-benar aku awasi. Yami pernah mempersoalkan kebijakanku mengikhlaskan uang 200 juta rupiah yang amblas tak berbekas. Saat Gea menjalani sesi pemotretan di kawasan Setiabudi Jakarta Selatan diantar Aditya, Yami mengetuk pintu kamarku lalu masuk.
Ia duduk di kasur sementara aku bersandar bantal sambil meminum jeruk nipis hangat. “Mama enggak mau ngobrol dengan Mbak Gea soal Mas Adit?” ia mengawali obrolan.
Advertisement
Keresahan Yami
“Enggak usah, untuk sementara kita memproteksi keluarga dari dalam. Mbakmu lagi jatuh cinta, agak sulit untuk menerima masukan meski dari keluarga terdekatnya sendiri,” jawabku sambil tersenyum. Yami hanya mengangguk meski aku tahu masih ada ganjalan di hatinya.
Menjalani pemotretan lalu showcase di sebuah kafe bersama tim kecilnya, Gea kemudian balik ke rumah lepas magrib bareng Adittya. Usai mandi, Gea makan malam bersamaku dan Yami. Aditya pulang duluan. Tiga perempuan berada di meja makan yang sama. Momen ini belakangan jarang terjadi.
Sayang, kebahagiaan ini tak bertahan lama. Gea membahas apartemen yang kami beli di Jakarta Selatan. Pengontrak sudah hengkang seminggu lalu. Aku sedang memoles ulang agar tampak baru. Jadi lebih mudah mencari penyewa berikutnya dengan harga lebih tinggi.
Ketika Gea Ingin Mandiri
Entah dari mana asal idenya, Gea ingin menempati apartemen itu. Aku terkejut. Yami sontak melirikku dengan wajah panik. “Kenapa tiba-tiba pengin tinggal di apartemen, Ge? Bukannya di rumah ini lebih nyaman. Ada Mama yang siap masak buat kamu dan adikmu?” tanyaku, perlahan.
“Aku pengin belajar hidup mandiri sih, Ma. Boleh, ya? Toh satu apartemen kupakai masih ada beberapa yang lain yang bisa dikontrakkan,” jawabnya.
“Kalau Mama, sih penginnya kamu tetap di sini sama Mama dan adikmu,” kataku.
“Iya, Mbak. Kenapa enggak berkumpul di rumah ini saja, rumah peninggalan Papa,” Yami menambahi.
Advertisement
Ngakunya Butuh Suasana Baru
“Aku pengin ada suasana baru. Memang Mama enggak percaya kalau aku bisa hidup sendiri? Toh, Mama bisa tiap hari nengokin aku?”
Belum sempat kuizinkan, Gea berujar, “Janji, deh. Setiap akhir pekan aku pasti tidur di sini, kok.” Saat itu, aku meminta Gea membagi waktu sama rata. Minggu ganjil di apartemen, minggu genap tinggal di rumah. Mendengar permintaanku, Gea mengernyitkan dahi.
“Ma, aku sudah gede. Kalau Mama kayak begini, bagaimana aku bisa tumbuh dewasa? Please, dong,” jawabnya kali ini terdengar ketus.
Yami memperlihatkan raut muka tidak suka namun tak bersuara. Aku tidak mengiakan, tak juga menidakkan. Aku tahu, setelah ini Gea makin berjarak denganku. Tak apa, yang penting doaku tidak pernah putus untuknya. (bersambung)
(Anjali L.)
Disclaimer:
Kisah dalam cerita ini adalah milik penulis. Jika ada kesamaan jalan cerita, tokoh dan tempat kejadian itu hanya kebetulan. Seluruh karya ini dilindungi oleh hak cipta di bawah publikasi Liputan6.com.