14 Musisi Muda Temu Seni Pentaskan Komposisi Apik di Keindahan Alam Kampung Puai Tepi Danau Sentani

Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.

oleh Aditia Saputra diperbarui 16 Jul 2022, 14:05 WIB
Diterbitkan 16 Jul 2022, 06:00 WIB
Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.
Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.

Liputan6.com, Jakarta Sekitar 14 musisi muda peserta ajang Temu Seni Musik di Papua dimana di antaranya adalah 4 musisi muda Papua tampil begitu apik, memukau dan kompak menampilkan komposisi musik kontemporer. Mereka tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.

Selama 5 hari berkreasi dalam sesi Laboratorium dan Diskusi, 14 musisi yang saling memiliki latar belakang genre musik berbeda dan mendapatkan arahan dan bimbingan dari fasilitator dan budayawan Sutanto dan etnomusikolog Joko Suranto berkolaborasi menggarap komposisi musik dalam kelompok.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan menggelar Temu Seni yang berlangsung di kota Jayapura, Papua pada tanggal 11 hingga 17 Juli 2022. 14 seniman muda hadir di kota Jayapura untuk turut serta dalam sebuah ajang silaturahmi, apresiasi dan jejaring musik sekaligus memperkenalkan Indonesia Bertutur 2022 di daerah cagar budaya di Indonesia.

"Ini adalah working progress. Komposisi-komposisi yang dipentaskan siang ini di tepi Danau Sentani yang elok ini saya kira memang wujud dari pemahaman berkarya, melaksanakan riset dan memformulasikan temuan-temuan di lapangan dan berbagai referensi dengan baik selama menjalani ajang ini di Jayapura, Papua. Sebagaimana adanya suatu  working progress, maka apa yang dipentaskan ini saya yakini masih akan terus berproses, bukan sesuatu yang final, terbuka untuk dikembangkan," ujar Dosen dan etnomusikolog sekaligus Fasilitator dalam ajang Temu Seni, Joko Suranto Gombloh dalam keterangan tertulisnya.

 

Disyukuri

Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.
Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.

Sementara itu, seniman dan budayawan, Sutanto menjelaskan bahwa Temu Seni adalah sebuah perhelatan yang patut disyukuri telah mewujud dan dihelat di bumi Papua. Siapa yang tidak jatuh cinta dengan Papua, dimana nyanyian dan tarian dibawakan dengan semangat kesukacitaan dan positivitas yang demikian kuat dirasakan. 

Inilah momen peleburan yang begitu apik, semangat keberagaman yang kaya berkumpul menjadi satu mewujud dalam kebahagiaan, kejujuran dan kemurnian. Eksistensi utama dari ajang ini adalah momen mereka bersama bermusik dan ajang Temu Seni ini adalah sebuah “pancingan” untuk kreatifitas komposer muda.

"Komposisi-komposisi yang sangat menarik sudah dihadirkan oleh musisi-musisi muda Temu Seni, digagas hanya dalam waktu yang begitu singkat, mereka bertemu, berdiskusi dan berkolaborasi. Saya percaya bila mereka menggubah dalam kesempatan yang lebih panjang waktunya, komposisi-komposisi ini akan jadi kreasi dalam bentuk yang jauh lebih baik lagi," ujar Prof. Dr. Djohan.

 

Pengalaman

Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.
Para musisi tampil di tengah masyarakat dan keindahan panorama alam kampung Puai di tepi Danau Sentani, Papua.

Sementara itu dalam sesi Sarasehan bertema Musik, Prof. Dr. Djohan, M.Si. menjelaskan bahwa musik hadir dari hasil pengalaman internal dimana unsur-unsur seperti tempo, timbre, dinamika dan pitch dan pengalaman eksternal ada serta kreasi suatu produk seni yang muncul dari pengalaman, penciptaan dan penelitian.   

Lebih jauh, Prof. Djohan memaparkan tentang metode penciptaan musik dalam konteks "sound behavior" Nusantara. Walau selama ini kita sudah familiar dan kompromi dengan terminologi komposisi yang notabene berasal dari barat. Tanpa bermaksud mendikotomikan timur-barat. Tapi secara esensial Nusantara sudah memiliki pengalaman spiritual dengan alam lingkungannya. 

Bahkan kata musik pun sejatinya bukan milik kita, kalaupun dipinjam baik secara institusional maupun faktual, pada prinsipnya komunikasi sehari-hari secara non-verbal baik melalui suara, gerak ataupun imajinasi bentuk. Dan itulah kekayaan Nusantara yang belum banyak dielaborasi. Bukan semata-mata persoalan seni tapi bagi masyarakat agraris, semua perilaku itu memiliki makna dan fungsi yang salah satunya untuk kesenangan. Ritualistik alamiah sudah menjadi bagian dan cara hidup di nusantara ini.

Musisi muda dari Kelompok 3; Sri Hanuraga, Yudhi Kaiway, Bastian Marani dan Melfritin Waimbo menuturkan bahwa yang menjadi inspirasi dan referensi dalam kolaborasi di ajang Temu Seni adalah mitos penciptaan manusia dari suku asmat Papua dan alam Papua. Kelompok kami sudah memiliki gambaran untuk membuat suatu kolaborasi musik dengan menggabungkan unsur soundscape dengan instrumen tradisi Papua dan suara yang sudah diubah ke dalam bentuk sampel, serta ditambahkan nyanyian dan senandung khas Papua.

Lebih jauh Sri Hanuraga menuturkan bahwa mitologi begitu penting karena merupakan cara pertama manusia memahami dirinya sebelum pemahaman yang rasional. Maka jika kita berbicara “Mengalami masa lampau dan menumbuhkan masa depan” maka penting menafsirkan modernitas melalui konteks lokal, bukan sebaliknya.

Sementara itu, Kelompok 1 yang terdiri dari musisi Minang Rani Jambak, Christian Setyo Adi, Ana Adila, I Gede Yogi dan Wahyu Thoyyib memaparkan bahwa komposisi mereka adalah pembauran dari latar seni budaya yang berbeda. Kemudian kelompok kami baru menggambarkan pengalaman masing-masing dari perjalanan ke pasar Pharaa dan sanggar Hiroshi serta pengalaman metode dalam pembuatan karya bersama.

 

 

 

Musisi

Antropolog sekaligus musisi peserta ajang Temu Seni, Halida Bunga Fisandra bersama rekan musisi Sraya Murtikanti, Presley Talaut, Purwoko Ryan dan Yuddan Fijar mengungkapkan bahwa pengalaman berjumpa dan mengenal Papua pertama kalinya secara langsung, seperti kunjungan ke Pasar Pharaa adalah inspirasi utama bagaimana komposisi berjudul Pharaa Swara tercipta. Terlebih, kami bukanlah orang asli papua. Sehingga pertemuan dengan Papua justru kami jadikan momentum yang dapat mengejawantahkan ekspresi bunyi yang lekat dekat latar belakang tubuh musik kami masing-masing. Konstruksi musiknya muncul dari pengalaman panca indera, yang kemudian ditransmisi lewat vokal dan instrumen yang beragam; seperti sapek, slompret, kendang, dan biola.

Kegiatan Temu Seni ini merupakan salah satu rangkaian dari Festival Mega Event Indonesia Bertutur 2022 yang dihelat menjadi bagian dari perhelatan akbar Pertemuan Menteri-Menteri Kebudayaan G20 (G20 Ministerial Meeting on Culture) dimana akan dilaksanakan di Kawasan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada bulan September mendatang.

Momen pementasan kelompok peserta Temu Seni ini menjadi istimewa karena tokoh masyarakat kampung Puai antara lain Kepala Suku Puai, David Fiobtauw, Kepala Sanggar Tari Endes, Yusuf Ohe, Arnold Awetauw dan Yeremias Awetauw turut menyaksikan dan memberikan apresiasi. Tokoh masyarakat Puai juga berbagi dan mendemonstrasikan bentuk seni khas Sentani berupa sejumlah lantunan lagu tradisional.

Temu Seni Jayapura, Papua melibatkan 14 peserta dari berbagai provinsi, 2 fasilitator, yaitu maestro musik Indonesia yang telah mendapat berbagai penghargaan nasional dan internasional; Sutanto atau Tanto Mendut dan Joko Suranto (Gombloh), serta 2 narasumber yang merupakan antropolog, praktisi, peneliti seni, dan dosen; Enrico Yosi Kondologit dan Prof. DR. DJOHAN, M.Si., serta bekerja sama dengan komunitas seni lokal yang berperan penting untuk merancang pelaksanaan Temu Seni, yaitu Action Papua.

"Temu Seni menjadi harapan baik dan pemicu langkah awal untuk tidak hanya pengembangan dan inovasi musik di Papua yang berangkat dari materi kearifan lokal, namun juga dapat membuka jalinan hubungan nasional dan internasional bagi para seniman dan musisi Papua. Komunitas Action Papua lahir karena satu kesamaan cara berpikir yaitu action. Selain itu kami memiliki filosofi ‘Perahu adat’ dimana spiritnya mengikat kami untuk harus terus ‘mendayung’ maju bersama dalam situasi ombak dan angin kencang. Setiap tantangan harus kami hadapi bersama," ujar Koordinator Komunitas Action Papua, Markus Rumbino.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya