Sejarah Balai Pemuda Surabaya: Jejak Gaul Kaum Elit Kolonial (1)

Dahulu, Balai Pemuda Surabaya diberi julukan "Simpang Club". Tempat gaul kaul elit kolonial tempo dulu.

oleh Liputan Enam diperbarui 05 Sep 2019, 06:00 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2019, 06:00 WIB
(Foto: Instagram @Surabaya)
Pohon Tabebuya di Surabaya, Jawa Timur (Foto:Instagram @Surabaya)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Surabaya mengenal gedung di Jalan Gubernur Suryo Nomor 15 ini dengan sebutan Balai Pemuda. Balai ini kini digunakan untuk berbagai aktivitas seperti menjadi ruang kreativitas budaya bagi warga.

Saat masa penjajahan Belanda, Balai Pemuda sempat disebut juga dengan “Simpang Club” atau Simpangsche Societeit. Gedung ini dibangun pada 1907 saat masa kolonial Hindia-Belanda. Kala itu, Simpang Club menjadi tempat orang-orang Belanda atau Eropa lainnya untuk bersenang-senang.

Mengutip buku "Surabaya: Di mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu?” karya Ady Setyawan, Frank Clune mencatat, Simpang Club dikenal sebagai tempat eksekutif dan mewah bagi warga Belanda dan tamu Eropa lainnya. Mereka yang gemar bermain tenis, billiard, dansa atau bermain kartu akan berkumpul di Simpang Club.

Di halamannya terdapat dua papan hitam dengan tulisan cat putih bertuliskan kalimat yang senada. “Verboden voor Inlander en hond!”. Bila diartikan dalam bahasa mengatakan “Dilarang masuk bagi pribumi dan anjing”. Tulisan dalam papan ini dinilai sangat merendahkan, diskriminatif dan sangat rasialis. Walau demikian, tulisan pada papan plakat ini, juga mendapat tentangan dan protes dari beberapa orang Belanda.

Sayangnya, bukti keberadaan tulisan dalam papan plang tersebut tidak ada, baik dalam bentuk dokumentasi foto atau bentuk lainnya. Namun, hal tersebut tidak menjadi alasan untuk menganggap papan tersebut tak pernah ada. Bahkan, konon ada yang pernah menantang dengan sejumlah uang untuk mereka yang mampu membuktikan keberadaan plang yang bertuliskan rasisme tersebut.

William Feredick dalam tulisannya mengatakan “… suatu kekuasaan yang di dalamnya mengandung ketegangan rasisime. Satu simbol yang jelas dari mentalitas ini adalah Simpang Club adalah sebuah eksklusif kaum mapan Belanda yang didirikan 1887 dan kemudian dijadikan landasan didirikannya Vaderlandse Club. Organisasi Belanda yang terang-terangan rasis dan bersifat ultranasionalis”.

Tak hanya saat Belanda menjajah, pada masa pendudukan Jepang pun, tempat ini masih mempertahankan watak khas rasis dengan lebih eksklusif. Masih diceritakan dalam tulisan William Feredick, tak lama saat Belanda menyerah, sebagian besar bioskop dan hotel yang biasanya terbatas untuk orang pribumi, mulai terbuka umum kembali. Namun, tidak untuk Simpang Club. Tempat ini tetap menjadi tempat eksklusif bagi para perwira Jepang di Surabaya.

 

(Bersambung)

 

(Kezia Priscilla, Mahasiswi UMN)

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Saat Balai Pemuda Jadi Ruang Kreativitas Warga Surabaya

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Desain pembangunan alun-alun Surabaya (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Sebelumnya, mengutip unair.ac.id, pada 1957, bangunan tersebut berganti nama menjadi 'Balai Pemuda' untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. Lalu, pada 1966, Balai Pemuda bergejolak kembali karena dugaan para seniman yang pentas di gedung tersebut memiliki paham berbeda dengan ideologi Pancasila.

Ketika masa Orde Baru, gedung ini digunakan sebagai kantor-kantor pemerintahan dan perkantoran swasta, karena sebagian pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta. Balai Pemuda kini dijadikan bangunan cagar budaya yang penuh dengan kisah sejarah di Surabaya.

Pemerintah Kota Surabaya terus menjadikan tempat ini menjadi ruang kreativitas pemuda Surabaya. Hal terbarunya yaitu dibangun underpass di bawah Balai Pemuda, dengan tujuan agar para pemuda di sana melakukan pementasan budaya.

Langkah awal Pemkot Surabaya dalam mengubah fungsi Balai Pemuda adalah membuat fitur-fitur Rumah Belajar, seperti Rumah Matematika, Rumah Bahasa, dan Perpustakaan.

Rumah Matematika dimanfaatkan sebagai ruang belajar. Fasilitasnya dibuat senyaman mungkin dengan metode pembelajaran yang dikemas secara menarik, rumah matematika tersebut diperuntukkan bagi pelajar SD dan SMP se-Surabaya.

Rumah Bahasa dibangun untuk memfasilitasi warganya agar mampu berbahasa asing. Salah satu kelas bahasanya yaitu bahasa inggris, kelas bahasa mengalami peningkatan yang cukup signifikan, karena masyarakat yang belajar disini tidak dipungut biaya.

Salah satu kegiatan yang ada di perpustakaan yaitu wisata buku. Wisata buku adalah kegiatan yang mengenalkan dan menginformasi tentang perpustakaan beserta manfaatnya kepada anak-anak.

Selain itu, Pemkot Surabaya juga membuat plaza yang digunakan untuk pementasan seni dan budaya para pemuda, seperti menari, melukis, dan bermain. Selanjutnya, kawasan ini akan memiliki air mancur seperti yang ada di Balai Kota Surabaya.

Jadwal rutin tampilan kesenian di gedung Balai Pemuda antara lain wayang orang, ludruk, ketoprak, dan srimulat. Selanjutnya, ada pula program beasiswa dan pelatihan kerja bagi anak-anak muda Surabaya.

"Ke depan, revitalisasi Balai Pemuda akan terus jalan sesuai rencana. Setiap langkah dilakukan dalam semangat memberikan layanan terbaik untuk warga kota. Harapan kami warga turut berpartisipasi menghidupkan Balai Pemuda dengan memanfaatkannya untuk pengembangan diri," kata Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dikutip dari humas.surabaya.go.id.

(Wiwin Fitriyani, mahasiswi Universitas Tarumanagara)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya