ITS: Perencanaan Kota di Era Industri 4.0 Butuh Teknologi

Seminar ini diikuti oleh 200 peserta, dan pada hari pertama ada 41 paper dari empat negara yang akan disajikan pada sesi panelis.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 17 Okt 2019, 21:43 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2019, 21:43 WIB
(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
Rektor ITS, Mochamad Ashari (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Liputan6.com, Surabaya - Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota (PWK) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Jawa Timur menggelar seminar "Cities International Conference" bertajuk Spatial Planning in the Digital Age to Achieve Sustainable Development di Auditorium Research Center ITS, Rabu, 16 Oktober 2019.

Mengawali konferensi di ITS Surabaya ini, Kepala Departemen Perencanaan Wilayah dan Kota Adjie Pamungkas  menuturkan, ada tiga subpanel yang diadakan, di antaranya Spatial Planning Process, Smart City and E-Governance, dan Sustainable Development.

Seminar ini diikuti oleh 200 peserta, dan pada hari pertama ada 41 paper dari empat negara yang akan disajikan pada sesi panelis.

Rektor ITS Prof Mochamad Ashari mengatakan, penggunaan teknologi bagi perencanaan kota sangat penting jika ingin survive (bertahan) di era industri 4.0.

"Nantinya, penggunaan teknologi ini akan berdampak banyak pada bidang-bidang seperti ekonomi, transportasi, dan lain-lain yang akhirnya bermuara pada perwujudan konsep sustainable development,” tutur rektor yang akrab disapa Ashari ini.

Hadir pula dalam konferensi ini, empat pemateri kunci dalam setiap bidang yang bersangkutan. Keempat pemateri ini di antaranya Prof Dr Ing Hendro Wicaksono dari Jacobs University, Prof Josaphat Tetuko Sri Sumantyo PhD dari Chiba University, Prof Ibnu Syabri BSc MSc PhD dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Cahyono Susetyo ST MSc PhD dari PWK ITS.

Pembicara pertama, Prof Dr Ing Hendro Wicaksono, yang membawakan topik pengembangan kota berkelanjutan melalui digitalisasi mengungkapkan, sebelum tahun 1970 konsep pengembangan kota hanya terfokus pada fungsinya saja. Setelah perang dunia kedua, konsep pengembangan yang paling populer adalah Automotive City yang muncul akibat perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Namun, lanjutnya, Automotive City ini sendiri tidak mempertimbangkan asas efisiensi energi dan konsep berkelanjutan. “Sekarang, kota masa depan berpacu pada tiga pilar berkelanjutan, yakni ekonomi, lingkungan, serta nilai sosial dan sejarah,” paparnya.

 

 

*** Dapatkan pulsa gratis senilai jutaan rupiah dengan download aplikasi terbaru Liputan6.com mulai 11-31 Oktober 2019 di tautan ini untuk Android dan di sini untuk iOS

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini

Tugas Pemerintah

(Foto: Liputan6.com/Dian Kurniawan)
ITS Surabaya (Foto:Liputan6.com/Dian Kurniawan)

Berdasarkan European Union, menurut Hendro, kota masa depan harus mempertimbangkan fenomena perubahan iklim dan menekankan pada keberlanjutan pembangunan serta efisiensi energi.

Ia juga harus dapat mendukung pengembangan ekonomi yang berbasis ICT, memperhatikan kompabilitas sosial, dan memiliki kebijakan yang mendukung penerapan teknologi.

Kriteria-kriteria tersebut, kata Hendro lagi, mendorong munculnya konsep smart city. Kesiapan konsep ini dapat diukur melalui enam dimensi, yakni smart environment, smart economy, smart mobility, smart governance, smart living, dan smart people.

Dalam proses perwujudannya, kebijakan yang dihasilkan di era digital dan industri 4.0 ini harus dapat melindungi masyarakat sekaligus memberikan kesempatan bagi investasi khususnya industri sebagai penggerak utama smart city.

"Untuk mewujudkan smart city, pemerintah memiliki andil yang sangat besar dalam manajemen teknologi khususnya manajemen data," tutur Hendro.

Hendro memberikan contoh integrasi penggunaan data antara masyarakat, pemerintah, dan swasta dalam bidang energi listrik di Jerman. Pertama-tama, rumah masyarakat atau konsumen melakukan input data mengenai konsumsi listrik di rumahnya.

“Data dari masyarakat tersebut nantinya dapat digunakan pembuat kebijakan atau pemerintah untuk membuat perencanaan pembangunan dan konsumsi listrik,” ungkapnya.

Selain itu, imbuh Hendro, electricity energy provider dan industri juga dapat menggunakan data ini untuk menetapkan harga dan melihat trend dalam konsumsi energi sehingga pelaku usaha dapat memprediksi waktu baliknya modal.

Pemanfaatan data oleh swasta ini harus mampu dikendalikan pemerintah agar tidak disalahgunakan. Hal tersebut dapat berupa regulasi proses perizinan dan pemanfaatan terkait data.

“Yang paling penting dalam era digital ini adalah standarisasi dalam bagaimana agar data masyarakat dapat dilindungi dan dimanfaatkan, namun tidak dimonopoli oleh swasta," ujar Hendro.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya