Hari Dunia Menentang Pekerja Anak 12 Juni, Simak Sejarah dan Perkembangan Kasus Terkini

Di Indonesia, persentase pekerja anak berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) cenderung masih tinggi. Per tahun 2023, terdapat sekitar 1,01 juta pekerja anak, yang berarti 1,72 persen dari total anak berusia 5-17 tahun secara nasional.

oleh Yusron Fahmi diperbarui 12 Jun 2024, 13:46 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2024, 13:39 WIB
Hari menentang pekerja anak diperingati setiap 12 Juni. (Foto: Kominfo RI)
Hari menentang pekerja anak diperingati setiap 12 Juni. (Foto: Kominfo RI)

Liputan6.com, Jakarta - Dunia memperingati Hari Menentang Pekerja Anak setiap 12 Juni 2024. Tahun ini tema Hari Menentang Pekerja Anak adalah “Akhiri pekerja anak!”

Hari Menentang Pekerja Anak diawali dengan deklarasikan oleh Organisasi Buruh Internasional atau International Labour Organization (ILO), sebuah organisasi di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang merujuk pada Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Pekerjaan Terburuk bagi anak-anak pada tahun 1999.

Peringatan ini ditetapkan pada 12 Juni 2002 sebagai wadah bagi pemerintah, organisasi masyarakat, dan individu untuk menangani masalah pekerja anak.

Di Indonesia, persentase pekerja anak berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) cenderung masih tinggi. Per tahun 2023, terdapat sekitar 1,01 juta pekerja anak, yang berarti 1,72 persen dari total anak berusia 5-17 tahun secara nasional.

Adapun rinciannya, jumlah pekerja anak di rentang usia 5-12 tahun sebanyak 539.224 anak, di usia 13-14 tahun, 162.276 anak, dan di usia 15-17 tahun, sebanyak 305.593 anak.

Padahal, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 tentang Batasan Usia Minimum Diperbolehkan untuk Bekerja, menetapkan usia 15 tahun sebagai usia minimum untuk bekerja, sesuai dengan usia wajib sekolah.

Undang-undang tersebut menyebutkan keadaan-keadaan tertentu yang memperbolehkan dilakukannya pekerjaan ringan oleh anak-anak mulai usia 13 tahun untuk jumlah jam kerja yang terbatas.

Di tahun 2024 ini, ILO fokus pada perayaan 25 tahun diadopsinya Konvensi Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Anak (tahun 1999 nomor 182), yang mendesak para pemangku kepentingan untuk meningkatkan implementasi dua konvensi mendasar mengenai pekerja anak, yakni Konvensi Nomor 182 dan 138 tentang Batas Usia Minimum yang Diterima atau Diperbolehkan untuk Bekerja (tahun 1973).

Tiga Seruan ILO

Ilustrasi bekerja keras
Ilustrasi bekerja keras. (Image by serhii_bobyk on Freepik)

Terdapat tiga seruan dari ILO untuk mengakhiri pekerja anak di tahun 2024, pertama, yakni implementasi dari Konvensi Nomor 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan untuk Anak.

Kedua, menghidupkan kembali aksi nasional, regional, dan internasional untuk mengakhiri pekerja anak dalam segala bentuk melalui penerapan kebijakan nasional dan mengatasi akar permasalahan, sebagaimana telah diserukan dalam Aksi Durban tahun 2022.

Ketiga, ratifikasi universal dan penerapan efektif Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum, bersama dengan ratifikasi universal Konvensi ILO Nomor 182 tentang Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang dicapai pada tahun 2020, bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum kepada semua anak terhadap segala bentuk eksploitasi pekerja anak.

Melalui seruan tersebut, diharapkan tidak ada lagi eksploitasi pekerja anak di bidang apapun, sehingga para pemangku kepentingan dapat berkomitmen untuk mendukung kampanye pendidikan untuk semua, sebagai salah satu upaya memastikan semua anak dapat fokus belajar dan mendapatkan akses pendidikan dasar untuk masa depan mereka yang lebih baik.

1,14 Juta Anak di Indonesia Jadi Pekerja

Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Sholihah mengatakan Indonesia masih menghadapi masalah situasi pekerja anak dan sekitar 1,14 juta anak terlibat dalam situasi tersebut.

Dalam siaran mengenai Hari Anti Pekerja Anak Sedunia di Jakarta, Rabu, Ai menjelaskan pekerja anak tersebut terkonfirmasi ketika mereka masuk dunia usaha sebagai tenaga kerja. Kemudian, lanjutnya, ada juga yang bekerja secara informal, misalnya menjadi anak jalanan atau pemulung.

"Bahkan, mohon maaf, di KPAI sendiri data mengenai anak yang dilacurkan itu cukup tinggi. Apalagi saat ini difasilitasi oleh pemanfaatan media ya. Ya saya harus sampaikan gitu, data-data prostitusi online di situ hampir 80 persen adalah usia anak," katanya.

Dia menjelaskan pekerjaan itu merupakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, yang memberikan dampak pada fisik dan psikis. Padahal, kata dia, dalam Konvensi Organisasi Buruh Internasional Nomor 138, usia minimal anak boleh bekerja adalah 15 tahun.

Ai juga mengatakan dalam penerapan Undang-Undang Ketenagakerjaan nasional, realita di daerah-daerah berbeda, dan banyak sekali orang tua yang turut menyuruh anak-anaknya untuk bekerja, karena merasa mendapatkan manfaat dari hal itu.

"Misalnya di Karawang, beberapa yang menjadi lumbung padi kita ketika musim panen, sekolah sepi itu. Karena semuanya berbondong-bondong untuk panen ke sawah gitu," ucapnya.

Acara Hari Dunia Menentang Pekerja

Kasus Eksploitasi Anak
Ilustrasi kekerasan seksual pada anak. (Dok. Freepik)

Dalam perayaan Hari Dunia Menentang Pekerja Anak tahun ini, banyak acara dan seminar yang diadakan untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat upaya melawan pekerjaan anak. Pemerintah dan organisasi masyarakat sipil menggalang dukungan dan berkomitmen untuk melindungi hak-hak anak dan memberikan pendidikan serta peluang yang layak bagi mereka.

Hari Dunia Menentang Pekerja Anak menjadi panggilan bagi kita semua untuk bertindak dan memastikan bahwa setiap anak dapat menikmati masa kanak-kanak yang bebas dari eksploitasi dan mendapatkan akses penuh ke pendidikan dan peluang masa depan yang layak.

INFOGRAFIS: Deretan Prestasi Mendunia Artis Korea (Liputan6.com / Abdillah)
INFOGRAFIS: Deretan Prestasi Mendunia Artis Korea (Liputan6.com / Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya