Liputan6.com, Bandung - Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) tentang revisi kebijakan tarif interkoneksi dinilai tidak patut dan menguntungkan asing.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Strategis Wisnu Adhi Wuryanto, yang juga mantan Ketua Serikat Karyawan Telkom, mengatakan, ketidakpatutan terjadi karena seluruh proses penetapan peraturan ini terburu-buru.
"Asas kepatutan penandatanganan diabaikan. Untuk kondisi sekarang, tanpa adanya Ketua Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), seharusnya tidak layak seorang Plt Dirjen menandatangani," kata Wisnu di Bandung, Senin (22/8/2016) malam.
Menurut Wisnu, isi surat tersebut juga membingungkan karena seorang pejabat negara harusnya paham bahwa kebijakan yang dikeluarkannya tidak boleh bertentangan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penetapan tarif interkoneksi Rp 204 juga dianggap tidak mencerminkan keadilan, karena tarif tersebut lebih rendah dari biaya yang harus ditanggung PT Telkom yang telanjur membangun jaringan hingga ke pelosok. Di sisi lain, angka itu tak sebanding dengan biaya operator-operator asing yang dianggap tidak gencar membangun jaringan hingga pelosok.
Baca Juga
"Ini pertanyaan besar bagi kami. Kenapa kebijakan tersebut menguntungkan asing dan merugikan BUMN? Mohon diingat Pak Menteri, janji pemerintah membeli kembali Indosat belum terlaksana, ini malah menerapkan kebijakan yang berpotensi merugikan satu-satunya BUMN Telekomunikasi di Indonesia!" tutur Wisnu menegaskan.
Kemudian Ketua Umum Serikat Karyawan Telkom Asep Mulyana menambahkan, pihaknya menolak kebijakan tarif interkoneksi karena kebijakan ini terkesan dipaksakan. Menurut Asep, kebijakan ini melanggar rasa keadilan dan dapat merusak tatanan industri.
"Proses maupun isinya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di atasnya. Juga bertentangan dengan semangat pemerataan pembangunan, kemandirian, dan ketahanan bangsa," kata Asep.
Kedua pihak tersebut di atas mendesak Menkominfo mengkaji ulang kebijakan-kebijakan yang dapat dipersepsikan sebagai pemberian fasilitas yang berlebihan bagi operator asing yang beroperasi di Indonesia.
(Msu/Why)