Benarkah Industri Telekomunikasi Sudah Masuki Fase 'Sunset'?

Baru-baru ini, muncul sebuah opini yang menyatakan bahwa industri telekomunikasi dinilai sudah memasuki tahap sunset atau menurun.

oleh Iskandar diperbarui 01 Nov 2016, 17:12 WIB
Diterbitkan 01 Nov 2016, 17:12 WIB
BTS
BTS (reum-batteries.com)

Liputan6.com, Jakarta Baru-baru ini, muncul sebuah opini yang menyatakan bahwa industri telekomunikasi dinilai sudah memasuki tahap sunset atau menurun, dan sudah bukan lagi menjadi industri yang dapat mengantongi untung besar.

Koordinator Lembaga Independen Pemantau Kebijakan Publik (LIPKP) Sheilya Karsya menilai industri telekomunikasi tengah mengalami transformasi bisnis dari telco (telecommunication company) menjadi dico (digital company), sebagai upaya meningkatkan performa bisnis.

"Maka itu dibutuhkan revisi PP 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi dan PP 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio dan Orbit Satelit secepatnya agar network sharing bisa dijalankan. Istilah sunset untuk membenarkan revisi kedua PP itu sepertinya adalah kesalahpahaman," ujar Sheilya melalui keterangan resmi, Selasa (1/11/2016) di Jakarta.

Menurutnya, sejak 2011 hingga 2016, industri telekomunikasi di Indonesia merupakan satu-satunya sektor industri yang tumbuh double-digit secara konsisten.


"Kami menolak jika industri telekomunikasi disebut masuk fase sunset sebagai dalih mendukung kebijakan network sharing dan frequency sharing. Justru yang terjadi saat ini adalah transformasi bisnis dari telco menjadi dico sebagai upaya meningkatkan performa bisnis. Artinya, pengembangan infrastruktur telekomunikasi masih sangat dibutuhkan," tegasnya. 

Dalam proses revisi PP 52 dan 53, lanjutnya, faktanya tidak ada keterlibatan publik untuk memberikan masukan terhadap draft revisi PP. Ini berarti proses revisi tersebut cacat karena tidak sesuai dengan asas-asas dalam pembentukan PP.

Sesuai UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, revisi PP seharusnya terbuka, transparan, dan melibatkan unsur masyarakat dalam memberikan masukan.

"Kami (LIPKP) telah menyambangi Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan Komisi I DPR terkait proses revisi PP yang kami nilai tertutup. Bahkan, BRTI selaku regulator menyatakan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam proses revisi PP tersebut," imbuhnya.

Jika merunut ke UU 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, tidak ada pasal dalam UU 36 tahun 1999 yang menyatakan berbagi jaringan adalah suatu kewajiban, sehingga mewajibkan network sharing dalam revisi PP tersebut jelas melanggar UU 36 tahun 1999. 

"Kami ingin tegaskan, persoalannya bukan hanya network sharing dan frequency sharing, tetapi terkait seluruh proses pembahasan dan materi revisi PP 52 dan 53 Tahun 2000 yang akan jadi acuan bagi seluruh penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa telekomunikasi nasional. Kami butuh solusi yang bisa diterima semua pihak," tutupnya.

(Isk/Cas)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya