Revisi PP 52/53 Bakal Hambat Bisnis BUMN Telekomunikasi

Pemerintah seharusnya melindungi perusahaan BUMN telekomunikasi karena dapat menjadi agent of development program Nawa Cita Joko Widodo.

oleh Corry Anestia diperbarui 16 Des 2016, 15:30 WIB
Diterbitkan 16 Des 2016, 15:30 WIB
BTS
BTS (ckn.io)

Liputan6.com, Jakarta - Revisi Peraturan Pemerintah (RPP) Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 diprediksi bakal memukul bisnis Telkom, yang notabene merupakan anak usaha BUMN di bidang telekomunikasi. Demikian juga penetapan biaya interkoneksi yang saat ini sedang ditunda. 

Hal ini demikian mengingat Telkom merupakan operator telekomunikasi dengan jaringan terluas di Indonesia. Pemberlakukan kewajiban network sharing yang tertuang dalam RPP tersebut otomatis akan berdampak pada investasi yang telah dihabiskan Telkom untuk membangun jaringan.

Pro-kontra penurunan tarif interkoneksi menjadi Rp 204 per menit sejatinya masih tetap berlangsung. Bahkan penetapan penurunannya ditunda karena besaran tarif interkoneksi baru akan diumumkan tahun depan.

Menurut Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia Haryajid Ramelan, perusahaan BUMN di sektor telekomunikasi dapat menjadi agent of development dalam rangka mendukung program pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) yang tertuang dalam Nawa Cita.

"Pemerintah seharusnya memproteksi seluruh perusahaan BUMN. Khususnya BUMN yang memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan nasional," tuturnya.

Leonardo Henry G, CFA Senior Research Manager PT Bahana Securities, dalam siaran pers kepada tim Tekno Liputan6.com, Jumat (16/12/2016), mengatakan penurunan tarif interkoneksi akan berdampak pada penurunan rata-rata pendapatan per pengguna atau ARPU dan EBITDA Telkom.

"Jika ini terjadi, operator akan berlomba-lomba menurunkan tarif layanan voice. Pertumbuhan ARPU dan EBITDA di sektor telekomunikasi juga akan tidak akan tumbuh. 

Demikian juga Apabila RPP Nomor 52 dan 53 Tahun 2000 diberlakukan. Kinerja keuangan Telkom akan terganggu akibat implementasi network sharing. 

"Jika Telkom tidak investasi besar, tidak ada masyarakat yang dapat menikmati layanan telekomunikasi di daerah terpencil dan terluar indonesia. Revisi PP 52 dan 53 justru akan membantu kinerja keuangan XL dan Indosat karena investasi dan biaya operasional yang dikeluarkan tidak akan turun signifikan," jelasnya.

Bagi sebagian pihak, RPP 52 dan 53 dinilai dapat merugikan industri telekomunikasi karena mewajibkan network sharing antarpenyelenggara jaringan telekomunikasi. Dengan diberlakukannya kewajiban tersebut justru bisa merugikan industri telekomunikasi yang saat ini telah berjalan dengan baik.

(Cas/Isk)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya