Smartfren Masih Nego Tarif Sewa Infrastruktur Jaringan MRT

Smartfren sampai saat ini masih berdiskusi dengan Tower Bersama untuk menentukan tarif akhir soal penyewaan infrastruktur jaringan di wilayah operasional MRT Jakarta.

oleh Andina Librianty diperbarui 09 Apr 2019, 16:32 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2019, 16:32 WIB
Smartfren
Presiden Direktur Smartfren Telecom, Merza Fachys, saat bertemu rekan media di Jakarta, Selasa (9/4/2019). Liputan6.com/ Andina Librianty

Liputan6.com, Jakarta - PT Smartfren Telecom Tbk (Smartfren) saat ini sedang mengikuti proses trial atau uji coba penyelenggara jaringan seluler di jalur Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta.

Proses trial ini akan berlangsung selama beberapa bulan, sambil menunggu hasil negosiasi tarif sewa infrastruktur jaringan di MRT.

Presiden Direktur Smartfren, Merza Fachys, mengatakan belum bisa memastikan waktu dicapainya hasil negosiasi tersebut. Namun, ia menegaskan solusi yang nanti dihasilkan harus saling menguntungkan semua pihak.

"Trial ini mudah-mudahan bisa berlangsung sampai negosiasi selesai. Kita akan cari solusi yang saling menguntungkan, pasti ada. Ini masih kami diskusikan," kata Merza saat ditemui usai acara uji coba jaringan Smartfren di MRT, Jakarta, Selasa (9/4/2019).

Negosiasi tarif sewa ini berlangsung antara para provider jaringan seluler dengan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG). PT MRT Jakarta menujuk TBIG sebagai mitra strategis penyedia konektivitas seluler dan jaringan nirkabel atau WiFi di wilayah operasional MRT Jakarta.

TBIG, misalnya, membangun leakage cable di terowongan jalur MRT agar para provider seluler bisa meletakkan Base Transceiver Station (BTS) mereka di sana. BTS ini yang kemudian akan menyalurkan sinyal seluler ketika konsumen berada di jalur bawah tanah MRT.

Sejauh ini, belum ada konfirmasi resmi dari TBGI atau pun operator seluler mengenai tarif pasti penyewaan infrastruktur jaringan MRT. Sebelumnya sempat beredar laporan, TBIG menetapkan tarif sewa Rp 600 juta per bulan.

"Untuk harganya belum tahu, karena kami ingin lihat bisnis modelnya dulu bisa seperti apa saja. Apakah bisa biayanya naik pelan-pelan per bulan, per terowongan (bawah tanah), atau seperti apa. Sejauh ini belum ada ketetapan biaya," tutur Merza.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Tarif Sewa Terlalu Mahal?

Smartfren
Uji coba jaringan Smartfren sepanjang jalur MRT Bundaran Hotel Indonesia hingga Lebak Bulus. Liputan6.com/ Andina Librianty

Merza pun menanggapi berbagai laporan yang menyebutkan tarif sewa infrastruktur jaringan telekomunikasi di MRT yang terlalu mahal. Ada beberapa yang menyebutkan, tarif sewa tidak setimpal dengan trafik dan keuntungan yang dihasilkan operator nanti.

Menurutnya, tidak semua sinyal atau cakupan jaringan harus menghasilkan pendapatan di suatu tempat tertentu.

Ia pun mengibaratkan pemasangan Base Transceiver Station (BTS) di jalur tol yang memang harus dilakukan, tapi sebenarnya tidak menghasilkan trafik tinggi. BTS harus ada di jalan tol demi memenuhi kebutuhan konsumen.

"Tidak semua yang namanya sinyal atau coverage itu harus menghasilkan pendapatan di tempat itu. Misalnya di jalan tol yang trafiknya tidak akan tinggi, tapi kita pasang BTS di sepanjang jalannya. Jadi kalau dihitung-hitung dari segi trafik tidak akan cocok," jelasnya.

Oleh sebab itu, kata Merza, klaim tarif sewa yang terlalu mahal tidak tepat. Meski wilayah operasional MRT adalah ruang publik, tapi bukan hal yang aneh jika ada penerapan biaya penyewaan infrastruktur jaringan telekomunikasi.

Hal yang kini harus didiskusikan, menurut Merza, mencari formula yang tepat untuk menghasilkan tarif sewa terjangkau bagi semua pihak.

"Lihatnya bukan di situ (terlalu komersial dan mahal), dan memang benar itu adalah area publik, tapi jangan diasumsikan komersialisasi, walau memang benar ada biaya yang harus dikeluarkan. Sekarang adalah bagaimana agar biaya ini terjangkau dan layanan untuk masyarakat tidak terganggu. Itu yang sedang dibahas sekarang," ungkapnya.

(Din/Ysl)

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya