Liputan6.com, Jakarta - Seiring derasnya transformasi digital di tengah pandemi, pemerintah diimbau untuk tidak melupakan tentang tata kelola yang sehat dalam berbisnis bagi pemain Over The Top (OTT).
OTT sendiri adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa.
Baca Juga
Pengamat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Heru Sutadi menilai Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (OTT) harus segera dituntaskan.
Advertisement
"Di era Kabinet Kerja, sudah ada RPM Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (OTT). Ini sebaiknya dituntaskan karena di tengah pandemi, jasa OTT makin banyak digunakan, tetapi nyaris nir keuntungan bagi negara atau penyedia jaringan," kata Heru melalui keterangannya, Jumat (7/8/2020).
Menurut pria yang menjabat sebagai Direktur Indonesia ICT Institute ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemominfo) sudah tak memiliki kendala dalam menetapkan aturan main bagi para OTT karena dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sudah menyelesaikan beberapa isu yang menjadi kendala selama ini.
"Kemenkeu telah bergerak maju dengan menetapkan pajak pertambahan nilai (PPN) bagi produk impor digital. Bahkan, Direktur Jenderal Pajak telah menunjuk beberapa perusahaan global yang memenuhi kriteria sebagai pemungut PPN atas barang dan jasa digital yang dijual kepada pelanggan di Indonesia. Masa Kemominfo malah belum punya aturan untuk OTT," paparnya.
Kerugian Negara Bisa Terus Membesar
Heru mengingatkan jika para OTT, terutama pemain asing tak diatur, maka potensi kerugian bagi pelaku usaha lainnya seperti operator telekomunikasi, bahkan kerugian negara terus membesar.
"Selama ini operator sudah mengelu tentang tidak adanya equal playing field dengan OTT, terutama bagi pemain yang sudah menawarkan jasa seperti yang dimiliki operator. Bahkan ada juga OTT yang berani memasukkan komponen peering interconnection untuk layanannya, di mana itu sudah menunjukkan harusnya ada pembagian hasil dengan operator. Tetapi kenyataannya operator tak dapat apa-apa," ungkapnya.
Ia menambahkan, jika kondisi tak transparan dan seimbang dalam berbisnis ini dibiarkan, industri telekomunikasi nasional bisa bangkrut karena tak ada sustainabilitas ke depannya.
Advertisement
Persaingan Makin Ketat
"Saat ini, persaingan di pasar operator telekomunikasi sendiri sudah cukup ketat, dengan margin yang tergerus. Pemerintah harus berani memberikan insentif berupa regulasi yang menguntungkan semua pihak di era transformasi digital ini. Kalau tidak, operator bertumbangan, yang rugi nanti pemerintah juga," ucapnya menambahkan.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Mohammad Ridwan Effendi mengakui pemerintah harus memimpin penyusunan tata kelola bisnis OTT karena Presiden sudah mendeklarasikan percepatan transfromasi digital belum lama ini.
"Kemkominfo memang harus menuntaskan RPM OTT itu, tinggal diperbarui dengan kondisi terkini di mana berpegang pada kedaulatan dan keadilan digital," ujarnya.
(Isk/Ysl)