Yahoo, LinkedIn, Steam Belum Terdaftar di PSE Kemkominfo, Terancam Diblokir?

Sejumlah platform besar seperti LinkedIn, Yahoo, hingga Steam terancam diblokir karena belum melakukan pendaftaran di situs PSE Kemkominfo.

oleh Agustinus Mario Damar diperbarui 27 Jul 2022, 17:58 WIB
Diterbitkan 27 Jul 2022, 17:58 WIB
Ilustrasi LinkedIn
Ilustrasi LinkedIn (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pekan lalu, Kemkominfo telah mengungkap daftar PSE dengan trafik terbesar yang belum melakukan pendaftaran. Ada beberapa platform besar yang diketahui belum mendaftar, seperti LinkeIn, Yahoo, Opera, hingga Steam.

Ketika itu, Direktur Jenderal Aptika Kemkominfo, Semuel A. Pangerapan menyebutkan pihaknya akan mengirimkan surat peringatan pada platform-platfom tersebut.

Bersama surat peringatan tersebut, Kemkominfo memberikan tenggat waktu lima hari kerja bagi platform memberikan tanggapan.

Apabila dalam lima hari kerja atau hari ini, Rabu (27/7/2022), penyedia platform tersebut tidak merespons, Kemkominfo akan mulai melakukan pemblokiran. "Kalau tidak (memberikan respons), proses pemblokiran akan berjalan," tuturnya saat ini.

Saat ini, berdasarkan pantauan, dari sejumlah platform yang sudah diungkapkan oleh Kemkominfo pekan lalu, baru Roblox yang diketahui telah terdaftar. Sementara, platform lain yang diumumkan pekan lalu belum terlihat muncul di situs PSE Kemkominfo.

untuk itu, merujuk pernyataan sebelumnya, ada kemungkinan apabila layanan tersebut belum melakukan pendaftaran hingga tengah malam ini, Kemkominfo akan mulai melakukan pemblokiran. Namun, seperti apa mekanisme pemblokirannya belum diketahui.

Kemkominfo sendiri hingga sekarang belum memberikan informasi terkini mengenai daftar PSE yang sudah mendaftar, terutama platform-platform yang mendapatkan surat peringatan tersebut.

Untuk itu, informasi lebih lanjut mengenai kelangsungan layanan-layanan tersebut masih perlu menunggu keterangan resmi dari Kemkominfo.

Adapun daftar PSE yang belum mendaftarkan diri--selain Roblox-- dan termasuk dalam daftar 100 trafik tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Opera
  2. LinkedIn
  3. PayPal
  4. Amazon.com
  5. Alibaba.com
  6. Yahoo
  7. Bing
  8. Steam
  9. Dota
  10. Epic Games
  11. Battlenet
  12. Origin
  13. Counter-Strike

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Tidak Ada Pasal Karet di Permenkominfo No 5 Tahun 2020

Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan (Liputan6.com/Giovani Dio Prasasti)

Di sisi lain, Kemkominfo (Kementerian Komunikasi dan Informatika) mengklaim tidak ada pasal karet di dalam Permenkominfo No 5 Tahun 2020 mengenai Penyelenggara Sistem Elektronik Lingkup Privat. Hal itu diungkapkan oleh Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan.

Semuel menuturkan, dalam pasal yang mengatur mengenai konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum harus memenuhi dua unsur lebih dulu, yakni benar-benar merasakan dan benar-benar mengganggu.

"Dan, ini sudah ada kejadiannya. Contoh konkret, ada pemuka agama lain mengkritisi kitab suci agama lain dan jadi ramai di media sosial. Itu sudah ramai dan mengganggu, sampai Menko (Menko Polhukam) turun tangan. Konten yang seperti itu. Jadi, tidak ada yang namanya pasal karet. Kalau mengganggu ketertiban umum itu memang benar-benar terjadi," tutur Semuel.

Selain itu, ia mengatakan, dalam setiap pengajuan takedown konten, pihaknya selalu memastikan tindakan itu telah memiliki dasar hukum yang kuat. Kemkominfo juga akan melakukan profilling ditambah penjelasan mengenai pelanggaran yang dilakukan beserta bukti-buktinya.

Pria yang akrab Semmy itu pun mengatakan, setiap ada permintaan pemerintah untuk takedown konten, selalu diumumkan di publik. Karenanya, menurut Semuel, tidak mungkin di era yang terbuka ini, pihaknya melakukan tindakan yang sembunyi-sembunyi.

"Jadi, tidak ada niatan (melakukan pembungkaman). Kami hanya ingin menciptakan ruang digital, yang kondusif, aman dan nyaman bagi masyarakat. Tidak lebih tidak kurang, karena kami ingin menjaga kedaulatan ruang digital kita," tuturnya.

Tak Batasi Kebebasan Berpendapat

Hingga September 2019, Kominfo Sukses Basmi 1,1 Juta Lebih Konten Negatif
© Shutterstock

Di samping itu, Plt. Direktur Tata Kelola Aplikasi Informatika Kemkominfo, Teguh Arifiadi menuturkan, konten yang dianggap meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum juga perlu ditetapkan oleh Kementerian/Lembaga terkait. Jadi, Kemkominfo tidak bisa langsung menyatakan sebuah konten meresahkan.

"Contohnya, ada banyak konten yang dikatakan belum memenuhi kualifikasi melanggar peraturan, tapi masuk masuk dalam konten meresahkan masyarakat. Sebagai contoh, konten bunuh diri, tidak melanggar hukum sebetulnya. Sebab, dia bukan konten provokasi, bukan ujaran kebencian, tapi harus di-takedown. Makanya, ada konten disturbing picture," ujarnya menjelaskan.

Teguh juga menuturkan, berdasarkan data statistik di Kemkominfo, pelaporan konten yang yang dianggap meresahkan masyarakat itu jumlahnya paling sedikit. Menurutnya, kebanyakan pelaporan itu lebih ke arah konten mengganggu atau konten yang meresahkan, tapi tidak diatur dalam peraturan perundangan.

"Dan, tidak berkaitan dengan konten terkait kebebasan berpendapat atau kebebasan berekspresi. Datanya bisa dicek, dan kami juga sering menyampaikan statistiknya," tuturnya melanjutkan

Bagian dari PP 71 Tahun 2019

Lebih lanjut Teguh menjelaskan, aturan mengenai konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum itu bukan merupakan produk asli dari Permenkominfo 5 Tahun 2020, melainkan murni dari PP 71 tahun 2019 yang merupakan turunan UU ITE.

Dalam hal ini, Permenkominfo 5 Tahun 2020 hadir untuk memberikan batasan-batasan yang sebelumnya tidak dijelaskan dalam PP 71 tahun 2019. Ia mencontohkan, batasan itu juga berlaku untuk pasal mengenai hak akses terhadap data dan sistem.

"Itu bukan konten dalam PM 5, aslinya dalam PP 71 tahun 2019, yang kemudian di PM 5 diberikan batasan," ujarnya. Salah satu batasan yang dimaksud adalah permintaan akses ke sistem itu harus melalui penilaian atau assestment lebih dulu, dan bisa ditolak kalau dinyatakan tidak diperlukan.

Lalu, akses terhadap data dan sistem itu dilakukan ketika data yang diminta tidak mencukupi untuk kepentingan hukum dan pengawasan. Karenanya, apabila mencukupi, tidak perlu ada akses data dan sistem.

"Meskipun demikian, kami dari Kemkominfo punya komitmen untuk melakukan revisi, memperbaiki atau mengurangi kemungkinan adanya salah tafsir atau penyalahgunaan dalam pasal-pasal yang kami siapkan. Dan, itu sudah masuk dalam agenda untuk melakukan penyesuaian," tutur Teguh.

(Dam/Ysl)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya