Ada Hak dan Kewajiban di Ruang Digital

Warga digital harus tetap berpegang norma dan kaidah yang berlaku saat berselancar dan berinteraksi di dunia digital.

oleh M Hidayat diperbarui 01 Sep 2022, 09:30 WIB
Diterbitkan 01 Sep 2022, 09:30 WIB
Ilustrasi jaringan internet
Ilustrasi jaringan internet. Kredit: Pete Linforth via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Generasi di era digital harus menyadari bahwa keberagaman budaya di ruang digital tidak dapat diabaikan dan mesti dihargai.

Upaya peningkatan kecakapan digital mesti terus digencarkan agar warga digital dapat memetik lebih banyak manfaat positif dan terhindar dari dampak negatif digitalisasi.

Diskursus itu menjadi topik perbincangan di webinar bertajuk “Generasi Muda Tebar Demokrasi dan Toleransi di Ruang Digital” pada Selasa (30/8), di Makassar, Sulawesi Selatan.

Webinar itu berlangsung atas kerja sama Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi.

Hadir sebagai narasumber adalah Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Sartika Sari Wardanhi; Ketua bidang Ekonomi Digital dan UMKM Sobat Cyber Indonesia Muhammad Miqdad Nizam Fahmi; serta Pemeriksa Fakta Senior Bentang Febrylian.

Di dalam webinar itu, Sartika Sari Wardanhi menyampaikan penjelasan mengenai hak demokrasi di ruang digital. Secara sederhana, hak digital dapat dimaknai sebagai hak mengekspresikan diri secara aman, privat, terjamin dan berkelanjutan di dunia digital. Selain itu, ada juga istilah freedom of net, yakni kebebasan dalam menyuarakan pendapat melalui internet.

"Demokrasi yang baik dan ideal adalah demokrasi yang menjamin kebebasan sekaligus menuntut pertanggungjawaban setiap warga negara atas setiap perkataan dan tindakannya di dalam berdemokrasi. Jadi, ketika ada hak, pasti muncul kewajiban juga," ujar Sartika.

Dia pun mengingatkan bahwa warga digital harus tetap berpegang norma dan kaidah yang berlaku saat berselancar dan berinteraksi di dunia digital.

Kejahatan Siber

Namun sayang, kata kata Sartika, banyak yang mengabaikan itu semua, yang antara lain tecermin dari maraknya kasus kejahatan siber. Berdasarkan data Kepolisian RI, pada periode April 2020-Juli 2021 tercatat sebanyak 973 kasus kejahatan siber yang didominasi kasus provokatif, konten kebencian dan ujaran kebencian.

"Ini menjadi track record buruk karena bermedia sosial bukannya memberikan faedah seperti memudahkan mendapat informasi dan berkomunikasi, tetapi ternyata dampak negatifnya ada," tutur Sartika.

Oleh sebab itu, dia menegaskan bahwa warga digital harus lebih bijak memanfaatkan teknologi informasi untuk menghindarkan hal-hal buruk seperti ujaran kebencian.

Kemudian Muhammad Miqdad Nizam Fahmi mengutip laporan dari Hootsuite dan We Are Social. Per bulan Februari 2022, penggunaan internet dan media sosial di Indonesia ada di kisaran 8 jam 36 menit per orang per hari.

Namun, porsi waktu terbanyak digunakan untuk berselancar di media sosial, yaitu 3 jam 12 menit; sementara alokasi waktu untuk membaca atau literasi hanya sekitar 1 jam 47 menit.

"Ini kan timpang], internet yang harusnya bisa dipakai untuk mencari informasi dan belajar tapi ternyata paling besar untuk bermain medsos. Ini harus disadari dan bersama-sama kita mengevaluasi diri," ujar Miqdad.

Bonus Demografi

Dia pun menyoroti Indonesia yang akan mengalami bonus demografi pada periode 2030-2040; kala itu jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) akan mendominasi.

Dia pun menyarankan Indonesia harus berkaca pada Jepang yang juga pernah mengalami bonus demografi pada 1950 dan bisa memanfaatkannya dengan baik. Dengan demikian, ketika bonus demografi berakhir pada 1970, Jepang tumbuh melejit menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Uni Soviet.

"Lalu apakah Indonesia juga akan mampu punya perekonomian yang sama dengan Jepang? Itu tergantung kita,"

Sementara itu, Bentang Febrylian membahas maraknya peredaran hoaks. Menurut survei dailysocial, 44% responden mengaku sulit mendeteksi hoaks.

Istilah hoaks sendiri berasal dari kata hocus yang berarti mengelabui. Bentang mengingatkan akan dampak dari hoaks yang bisa memicu perpecahan dan membingungkan.

"Kita masuk di era post truth, era pascakebenaran di mana seseorang sering kali mempercayai sebuah informasi meskipun informasi tersebut tidak berdasarkan fakta atau data tapi lebih ke kedekatan emosional. Misalnya hanya melihat latar belakang atau karena saudara," kata Bentang.

 

Cara mengidentifikasi hoaks

Bentang menjelaskan, ada beberapa cara untuk mengidentifikasi hoaks. Salah satunya, selalu perhatikan URL dari kabar yang dibagikan, pastikan judul dan isinya berhubungan, periksa waktu pemberitaan, periksa foto dan video yang disematkan, teliti sumber asli, dan bandingkan dengan sumber lain.

"Masih banyak masyarakat yang terkecoh dengan URL yang mendompleng media-media arus utama, misalnya namamedia.blogspot.com," tutur Bentang.

Kehadiran program Gerakan Nasional Literasi Digital oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika RI diharapkan dapat mendorong masyarakat menggunakan internet secara cerdas, positif, kreatif, dan produktif.

Kegiatan ini khususnya ditujukan bagi para komunitas di wilayah Sulawesi dan sekitarnya yang tidak hanya bertujuan untuk menciptakan Komunitas Cerdas, tetapi juga membantu mempersiapkan sumber daya manusia yang lebih unggul dalam memanfaatkan internet secara positif, kritis, dan kreatif di era industri 4.0.

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet. (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet
Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya