Liputan6.com, Jakarta Kemunculan chatbot berbasis kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) ChatGPT, turut meroketkan popularitas teknologi AI, termasuk di Indonesia.
Naiknya tren AI pun juga memunculkan pro dan kontra. Sebagian menilai bahwa teknologi ini akan membantu manusia, di sisi lain, timbul kekhawatiran soal hilangnya pekerjaan seseorang, masalah plagiasi, dan terkait etika.
Baca Juga
Dr. Derwin Suhartono, Head of Computer Science Department, Binus University Jakarta, mengatakan bahwa perkembangan kecerdasan buatan hingga saat ini memang tidak bisa dibendung.
Advertisement
"Perkembangan AI pasti akan terus pesat untuk ke depannya, karena dari waktu ke waktu, jumlah data yang tersedia secara online yang bisa kita akses, bisa dimanfaatkan, semakin banyak," kata Derwin.
Bicara soal nasib manusia di masa depan, seiring berkembangnya teknologi AI, Derwin mengatakan hal ini tidak bisa sekadar berdasarkan spekulasi.
"Seiring dengan AI berjalan dan berkembang, manusia juga pasti akan berkembang," ujarnya, saat dihubungi Tekno Liputan6.com, Selasa (30/5/2023).
Menurutnya, dengan semakin maraknya tren penggunaan AI, seseorang harus lebih sadar terhadap kemampuan yang sudah dia miliki, serta dapat memanfaatkan alat-alat AI yang ada.
"Misalnya kalau kita lihat ada ChatGPT, jangan kita tidak pakai ChatGPT. Justru manfaatkan untuk menambah skill kita," ujarnya.
"Dengan teknologi itu kan bisa kita manfaatkan untuk kompetensi kita terus terbangun," ia menambahkanÂ
Isu Etika di Teknologi Tak Terbatas Cuma Soal AI
Di sisi lain, dengan makin majunya AI seperti ChatGPT, yang berbahaya adalah ketika seseorang tidak memiliki kemampuan.
"Jadi saya selalu menekankan, kita harus asah skill lebih serius. Jangan sampai hanya menggunakan teknologi tanpa membuat teknologi," kata Derwin.
Terkait masalah etika, Derwin melihat hal ini sesungguhnya bukan cuma soal AI, tetapi juga di teknologi yang lain.
"Sebenarnya tidak cuma di AI, di teknologi yang lain pun ethical issue sudah harus ditangani. Sebagai contoh automatic driving car, kalau misalkan nabrak, yang salah siapa," kata Derwin.
Dalam contoh mobil otomatis, perlu dilihat juga faktor jalanan, wilayah beroperasi, pembuat, hingga perusahaan. Dengan demikian, ini akan jadi sangat kompleks.
Maka dari itu, terkait aturan soal AI, perlu juga dilihat faktor-faktor lain secara lebih luas, bahkan sudah seharusnya dibahas ketika teknologi berkembang.
"Karena bikin aplikasi, bikin web, misalnya banyak orang yang posting di sosmed, lalu diangkat jadi isu, itu kan juga harus melihat ethical issue-nya bagaimana. Jadi teknologi, bukan cuma AI," imbuhnyaÂ
Advertisement
AI Harus Jadi Teman, Bukan Musuh
Derwin pun menilai perkembangan AI di Indonesia akan semakin menjanjikan, untuk membantu bisnis bekerja, misalnya dengan membuat banyak hal dilakukan secara otomatis.
"Kalau kita bahas ChatGPT sangat membantu dalam banyak hal. Tapi kalau kita bicara perkembangan AI-nya sendiri, orang-orang Indonesia, saya men-encourage, untuk belajar AI itu apa," tutur Derwin.
Menurutnya, dengan mengetahui dan mengerti AI, masyarakat bisa memanfaatkannya di berbagai bidang baik untuk bisnis, pekerjaan, hingga studi.
"Jadi bukan jadi musuh, tapi jadi teman. Untuk menambah skill, untuk build-up bisnis supaya lebih baik, harusnya AI bisa jadi yang sifatnya enabler ke industri, ke masyarakat, dan seterusnya," ia melanjutkan.
Sementara, secara global, dengan munculnya ChatGPT dan tren AI, hal-hal yang dulunya dinilai tidak mungkin, saat ini perlahan menjadi lebih mungkin.
"Banyak yang bisa dieksplorasi untuk teknologinya. Karena kemunculan ChatGPT itu kan cukup mengagetkan. Itu sangat canggih dan real time jawabnya," Derwin memungkaskan.
(Dio/Isk)