Liputan6.com, Jakarta - Misinformasi perubahan iklim dan informasi yang didanai oleh industri bahan bakar fosil terus berkembang pesat di media sosial. Platform media sosial, seperti Google, YouTube, Meta, dan TikTok masih terbilang lambat dalam menyikapi konten penolakan iklim.
Dikutip dari The Verge, Rabu (27/9/2023), Twitter atau X tidak memiliki kebijakan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan terhadap konten tersebut. Climate Action Against Disinformation melaporkan bahwa Twitter tidak transparan dalam hal ini.
Baca Juga
Dari 21 poin yang ada, para peneliti menilai platform berdasarkan seberapa efektif mereka memoderasi informasi faktual yang salah tentang perubahan iklim.
Advertisement
Penilaian ini dilakukan menggunakan kombinasi pedoman komunitas perusahaan, kebijakan ketentuan layanan, siaran pers, artikel berita, dan penelitian independen.
Tercatat, platform Pinterest menduduki peringkat tertinggi dengan 12 poin. Selanjutnya diikuti oleh TikTok (sembilan poin), Facebook dan Instagram (delapan poin), serta YouTube (enam poin). Twitter berada di peringkat terakhir dengan satu poin.
Dikutip dari NBC News, menemukan hoaks tentang iklim relatif mudah di Twitter. Beberapa akun besar di platform tersebut mengunggah informasi yang menyebut perubahan iklim adalah teori konspirasi tentang proyek energi ramah lingkungan.
Bahkan, Elon Musk sendiri sempat mengatakan bahwa apa yang dilakukan manusia pada lingkungan tidak berdampak pada perubahan iklim.
Hal ini tentunya memberikan dampak besar, karena hoaks mengenai perubahan iklim telah menghambat tindakan dan pembatasan lebih lanjut bahan bakar fosil.
Sejak 2019, Twitter Telah Menjanjikan Tindakan Terhadap Misinformasi Perubahan Iklim
Dilansir The Verge, pada Hari Bumi 2022, Twitter mengumumkan akan melarang iklan yang menyangkal konsensus ilmiah mengenai perubahan iklim. Ini bukan pertama kalinya Twitter berjanji menghentikan iklan disinformasi iklim.
Sebelumnya, pada tahun 2019, platform ini juga berjanji untuk tidak menerima iklan politik dan iklan tentang pemanasan global yang dibuat oleh kelompok penolak iklim.
Namun, hal ini tidak menghentikan kampanye iklan greenwashing yang dilakukan oleh ExxonMobil atau industri bahan bakar fosil lainnya.
Setelah Twitter diakuisisi oleh Elon Musk pada 2022 lalu, platform tersebut mengalami kemunduran dalam penegakannya dan membalikkan kebijakan moderasi tertentu.
“Dalam kasus X alias Twitter, akuisisi perusahaan oleh Elon Musk telah menciptakan ketidakpastian mengenai kebijakan mana yang masih berlaku dan mana yang tidak,” tulis para peneliti.
Pada bulan Januari 2023, Twitter mengumumkan akan melonggarkan larangan terhadap iklan politik yang berbasis tujuan.
Meskipun larangan Twitter terhadap konten yang tidak pantas untuk iklan mencakup konten yang menyesatkan, saat ini Twitter tidak secara eksplisit melarang iklan yang mendukung penolakan iklim.
Advertisement
Media Sosial Belum Punya Informasi Terbaru Soal Misinformasi Perubahan Iklim
Permintaan Twitter untuk melaporkan tweet mencakup opsi untuk informasi yang menyesatkan mengenai COVID-19 atau pemilu. Namun, tidak ada kategori untuk penolakan perubahan iklim.
Pengguna platform ini telah mencatat beberapa Catatan Komunitas yang dibuat oleh para penyangkal perubahan iklim telah diterima dan disertakan dalam postingan tentang lingkungan.
Dari laporan ini, meskipun platform-platform lain mendapat skor lebih tinggi daripada Twitter, tetapi laporan tersebut mencatat bahwa sebagian besar platform tidak memiliki beberapa hal mendasar terkait informasi perubahan iklim.
Misalnya, YouTube, Meta, atau TikTok tidak memiliki apa yang diklaim oleh para peneliti sebagai definisi perubahan iklim yang jelas dan komprehensif.
Bahkan, tidak ada satu pun platform yang memberikan informasi terbaru kepada pengguna tentang apa yang terjadi setelah misinformasi iklim dilaporkan.
Tidak hanya itu, tidak dijelaskan pula apa dampak laporan rutin tentang bagaimana perubahan pada algoritme terhadap informasi perubahan iklim.
Kekhawatiran Peneliti Terhadap Penolakan Perubahan Iklim
Dilansir NBC News, para peneliti media sosial selama bertahun-tahun telah menyatakan kekhawatirannya terhadap meluasnya penolakan terhadap perubahan iklim.
Hal ini dikarenakan platform-platform media sosial dan teknologi berpotensi menjadi pemicu parahnya perubahan iklim.
Misalnya, kenaikan permukaan air laut jika mereka tidak mengambil peran lebih aktif dalam menghapus konten yang menyesatkan. Teori konspirasi dan misinformasi terkait iklim juga meningkat setelah peristiwa cuaca ekstrem.
Platform-platform tersebut mulai mengambil tindakan yang lebih keras terhadap misinformasi iklim dan menerapkan strategi yang berbeda.
Pada tahun 2021, Meta, yang saat itu dikenal sebagai Facebook, mengatakan akan memberi label pada unggahan yang berisi misinformasi iklim dan mengarahkan pengguna melalui tautan ke pusat informasi baru untuk mempromosikan temuan ilmiah.
Kendati demikian, peneliti mengatakan bahwa Facebook tidak selalu menerapkan label tersebut.
Pada tahun yang sama, YouTube secara eksplisit melarang monetisasi konten yang menyangkal keberadaan perubahan iklim, serta iklan yang mempromosikan klaim tersebut.
Namun, pada tahun ini, orang-orang yang menolak perubahan iklim masih melakukan hal yang sama.
Kartu skor dari Climate Action Against Disinformation tidak mengevaluasi secara sistematis seberapa baik aplikasi media sosial menegakkan kebijakannya. Namun, jika kebijakan tersebut ada, perlu dianalisis lebih lanjut seberapa komprehensif kebijakan tersebut.
Advertisement