Liputan6.com, Jakarta - Saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah menyusun Pedoman Etika Penggunaan AI (Artificial Intelligence/kecerdasan buatan) guna memaksimalkan manfaat dan meminimalkan risiko penggunaan teknologi tersebut.
Wamenkominfo Nezar Patria menekankan pengembangan dan pemanfaatan teknologi AI harus dijalankan dengan transparan, inklusif, dan juga non-diskriminatif.
Baca Juga
"AI itu harus bersifat inklusif dan nondiskriminatif juga. Lalu harus transparan terutama untuk generatif AI," tegasnya dalam acara Next Level Al Conference di Semarang, Jawa Tengah, dikutip Senin (27/11/2023) dari situs resmi Kominfo.
Advertisement
Ia menilai prinsip itu memiliki arti penting karena perkembangan teknologi AI banyak manfaat di berbagai sektor kehidupan. Nezar menyontohkan banyak beredar video yang dibuat dengan teknologi AI bahkan deepfake.
“Kami berharap developer aplikasi bisa memberikan watermark-nya bahwa gambar yang ditampilkan adalah hasil generatif AI. Ini penting supaya publik tidak tersesat dan tidak punya impresi salah terhadap produk AI yang mereka konsumsi," imbaunya.
Oleh karena itu, menurut Wamenkominfo, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memitigasi segala risiko yang akan terjadi.
"Kami optimistis bahwa AI akan banyak manfaatnya ke depan, tapi kita juga harus bersiap untuk memitigasi risikonya,” Nezar menuturkan.
Ia menyebut salah satu upaya meminimalkan risikonya yaitu dengan Surat Edaran (SE) Menkominfo mengenai Pedoman Etika Penggunaan AI. Pedoman ini akan menjadi norma dasar bagi para pengembang dan pengguna AI.
“Mengingat AI lebih banyak menggunakan data, maka SE dihadirkan sabagai panduan agar setiap developer yang menggunakan AI bisa menjalankannya secara transparan. Melalui SE tersebut, Indonesia memiliki framework etik sebelum berangkat kepada regulasi yang lebih komprehensif,” ucapnya.
Selaras dengan UU PDP
Kementerian Kominfo akan terus memantau perkembangan inovasi di bidang AI. Pada saat bersamaan, akan menyelaraskan dengan regulasi yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP).
“Nanti akan ada peraturan pemerintah dan peraturan menteri, termasuk UU ITE yang direvisi. Nanti kalau sudah ditetapkan akan menjadi pendukung ekosistem regulasi emerging technologies seperti AI ini bisa kita atur," Nezar menjelaskan.
Co-Founder Kolaborasi Riset dan Inovasi Industri Kecerdasan Artifisial (KORIKA) Bambang Riyanto mengatakan saat ini dunia sedang berada pada Era Narrow AI yang memungkinkan penyelesaian tugas khusus seperti men-track gambar, menerjemah, atau menunjuk lokasi.
Sebelumnya, teknologi AI banyak digunakan untuk sentimen analisis, merangkum dokumen, melakukan transaksi, atau prediksi dari teks melalui prompt atau perintah.
"Visi dari AI ke depannya untuk membentuk sesuatu yang lebih general yang memiliki kemampuan seperti manusia. Bisa mengenal wajah, bisa mengerti bahasa yang diucapkan oleh orang lain, bisa memecahkan masalah, melakukan pembelajaran, dan memahami," tutur Bambang.
Lebih dari itu, teknologi AI merupakan satu bidang teknologi yang ingin menciptakan komputer yang lebih cerdas mendekati kecerdasan makhluk hidup atau manusia.
"Seperti kemampuan belajar, menalar, problem solving. Ini yang ingin ditiru AI," Bambang menandaskan.
Advertisement
Banyak Anak Muda dan Startup Indonesia Tertarik Mendalami AI
Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Wamenkominfo) Nezar Patria mengatakan sudah banyak ahli di Indonesia, yang telah mulai mempelajari soal teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI).
"Para ahli di Indonesia itu cukup banyak juga yang menggarap AI. Mereka mempelajari data science, belajar soal AI secara khusus, itu juga sudah mulai banyak anak-anak muda kita yang tertarik dan mendalami AI," kata Nezar.
Dalam acara Catatan Wens Manggut bertajuk 'Regulasi dan Etika dari Kecerdasan Buatan (AI)' yang digelar secara live streaming di Vidio, Selasa (22/11/2023), ia menyebut sejumlah startup di Indonesia juga sudah mulai mengembangkan AI.
"Menurut saya mereka cukup cerdas mengolah AI. Indonesia pun sekarang sudah ada kebutuhan mendesak untuk membuat semacam panduan etis penggunaan AI," ujar Nezar.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan Kementerian Kominfo akan segera mengeluarkan Surat Edaran Panduan Pemakaian AI untuk semua sektor.
"(Panduan penggunaannya) lebih ke etika, karena memang untuk sampai ke hard-nya, kita harus me-review semua perkembangannya dulu, dan bicara dengan stakeholders," ucap Nezar.
"Jadi kami tidak mau membatasi inovasinya juga, kami sepakat dengan negara-negara lain untuk memaksimalkan benefitnya, meminimalkan risikonya," imbuhnya.
Nezar menuturkan, industri-industri di Indonesia juga telah memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan.
"Media sudah pakai, media paling banyak pakai dan terpapar AI ini. Terus juga transportasi, kesehatan, itu sudah memakai yang namanya AI. Yang paling besar terpapar adalah sektor informasi," ungkap Nezar.
"Di sektor customer relation management, itu sudah pakai chatbot, menggantikan orang. Ini makin canggih, jadi dia bisa berinteraksi lebih intim dan pengembangannya akan sangat personalized," kata Wamenkominfo menambahkan.
Waspadai Banjir Misinformasi Akibat AI
Pada kesempatan tersebut, Nezar juga mengingatkan bahwa jelang Pemilu 2024, masyarakat harus lebih kritis terhadap konten-konten yang beredar di internet dan media sosial, mengingat penggunaan AI juga semakin marak.
Nezar mengatakan, dengan keberadaan platform seperti ChatGPT, seseorang bisa menyalahgunakannya untuk memproduksi berbagai narasi, termasuk disinformasi dan misinformasi.
"Memang ini satu tantangan, karena dengan adanya bot juga di media sosial, yang kita sebut cyber army dan semacamnya, bisa pakai itu untuk pumping volume dan meningkatkan variasi-variasi narasi," ujarnya.
Dengan semakin kompleksnya teknologi AI yang juga sudah bisa terkoneksi dengan media sosial, apabila tidak teratur dan dipakai dengan tidak bertanggung jawab, menurut Nezar, akan ada risiko kekacauan informasi.
Nezar juga mengingatkan masyarakat untuk selalu melakukan check dan recheck, apabila menerima sebuah informasi di media sosial, mengingat saat ini, AI juga dapat disalahgunakan untuk menyebarkan misinformasi.
"Kalau menerima konten yang agak meragukan, misalnya too good to be true, seperti contohnya presiden berbahasa Mandarin, tentu saja menimbulkan pertanyaan, itu bisa cek ke sumber yang otoritatif," imbaunya.
Advertisement
3 Gagasan Indonesia Respons Perkembangan AI
Nezar juga mengungkapkan Indonesia punya tiga usulan atau gagasan dalam rangka merespons perkembangan kecerdasan buatan.
Menurut Nezar, usulan ini sudah disampaikan dalam AI Safety Summit, yang diikuti 28 negara, bersama dengan sejumlah perusahaan teknologi di London, Inggris beberapa waktu lalu.
"Kami menawarkan tiga hal yang kami sebut 3P di dalam forum itu," tuturnya.
Ia mengungkapkan, "P" yang pertama adalah Policy atau kebijakan, yang dimaksudkan untuk mengatur ekosistem, mulai dari desain, pengembangan, hingga pemakaian.
Kedua adalah Platform kecerdasan buatan, di mana menurut Nezar, platform harus menjamin inklusivitas, transparansi, hingga non-diskriminasi.
"P" terakhir adalah terkait People atau sumber daya manusia dan hubungannya dengan alat-alat AI, serta empowerment manusianya itu sendiri.
"Karena ada digital divide, di dunia masih terjadi. Kesenjangan akses, kesenjangan pengetahuan soal digital, dan lain-lain, akan memengaruhi interaksi dengan artificial intelligence, dalam soal data," tutupnya.
Infografis Ponsel Black Market Diblokir via IMEI. (Liputan6.com/Triyasni)
Advertisement