Taksi dan Mobil Mewah Stop Pakai Premium, Neraca Dagang Membaik

BPS menyambut baik rencana BPH Migas yang melarang taksi, mobil mewah dan bus pariwisata untuk menggunakan BBM subdisi.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 27 Mar 2014, 14:08 WIB
Diterbitkan 27 Mar 2014, 14:08 WIB
Taksi-Express
Express-Group

Liputan6.com, Jakarta Badan Pusat Statistik (BPS) menyambut baik rencana BPH Migas yang melarang taksi, mobil mewah dan bus pariwisata untuk menggunakan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pasalnya, kebijakan ini akan menekan konsumsi BBM subsidi dan berdampak pada penurunan impor BBM.

"Kalau dari segi perdagangan, itu kan tidak boleh disubsidi lagi, ya berarti bisa mengurangi konsumsi BBM. Dan bagus buat neraca perdagangan kita," ungkap Deputi Bidang Statistik dan Distribusi BPS, Sasmito Hadi Wibowo di kantornya, Jakarta,  Kamis (27/3/2014).

Di sisi lain, kata dia, imbas negatif dari kebijakan tersebut nantinya adalah masyarakat harus bersiap dengan penyesuaian tarif taksi dan bus pariwisata yang tak lagi mendapat jatah BBM bersubsidi. "Tarif taksi bisa naik dan arahnya bisa ke inflasi," ujarnya.

Sasmito berharap, kebijakan tersebut dapat mengerek neraca perdagangan ke arah lebih baik. Sebab tren neraca perdagangan Indonesia menuju peluang surplus berkelanjutan.

Dia berpatokan pada perkiraan Bank Indonesia yang meramalkan terjadi surplus sekitar US$ 700 juta pada neraca perdagangan Februari 2014.

"Mudah-mudahan bisa, tapi kami belum tahu. Semoga bisa survive karena melihat ada potensi surplus setelah mengalami defisit di September-Oktober 2013 dan Januari 2014 karena larangan ekspor mineral mentah," jelasnya.

Sasmito mengatakan, dampak larangan ekspor minerba diperkirakan sudah mulai mereda, karena minerba telah diproses dan diekspor menjadi barang setengah jadi atau jadi.

"Logika saya para pengusaha sudah melakukan persiapan, sebab a peraturan itu sudah dilakukan empat tahun lalu dan mereka masih menunggu goal saja," terang dia.

Meski begitu, dia memperkirakan akan terjadi penurunan ekspor dan impor pada bulan kedua ini karena ada perbedaan hari.

"Kan Februari ini cuma 28 hari, sedangkan bulan-bulan lainnya 31 hari. Jadi kalau bedanya tiga hari saja, ekspor dan impor turun 10%," paparnya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya