Pengusaha Mainan Lokal Mengeluh Penerapan SNI Ancam Usahanya

Pada tahun ini, paling tidak pasar mainan diperkirakan mampu tumbuh sekitar 10%-15%.

oleh Septian Deny diperbarui 01 Apr 2014, 09:52 WIB
Diterbitkan 01 Apr 2014, 09:52 WIB
Mainan Anak
(Foto: Antara)

Liputan6.com, Jakarta Pasar mainan di Indonesia tiap tahunnya terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun ini, paling tidak pasar mainan diperkirakan mampu tumbuh sekitar 10%-15%.

Ketua Asosiasi Penggiat Mainan Edukatif dan Tradisional Indonesia (APMETI) Danang Sasongko mengatakan, pertumbuhan ini seiring berkembangnya pendidikan anak usia dini (Paud).

"Bertambahnya tempat pendidikan usia dini membuat mainan anak dibutuhkan dan ini berdampak positif terhadap industri mainan di Indonesia," ujar dia di Jakarta, seperti ditulis Selasa (1/4/2014).

Dia menjelaskan, pada 2013, omzet penjualan mainan anak mencapai US$ 6 juta. Sedangkan industri mainan yang berada di bawah asosiasi tersebut mencatatkan penjualan sebesar Rp 100 miliar.

"Paud tentunya membutuhkan mainan anak yang bersifat edukatif," lanjutnya.

Namun, penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk mainan anak yang tertuang dalam aturan nomor
24/M-Ind/PER/4/2013 dinilai menghambat pertumbuhan industri, terutama bagi produsen mainan usaha kecil menengah (UKM) yang bergerak pada sektor tersebut.

Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan UKM mainan melakukan uji laboratorium dan akses bahan baku yang tidak mengandung racun.

Mahalnya uji laboratorium membuat banyak UKM tidak bisa mengujikan mainannnya, sehingga pada akhirnya hanya perusahaan besar yang akan bermain dalam pasar mainan.

"Biaya pengujian cat warna pada mainan membutuhkan sekitar US$ 40-US$ 60. Hal seperti inilah yang mengkhawatirkan kami," katanya.

Menurut Danang, pemerintah juga cenderung masih belum ketat melakukan pengawasan terhadap bahan baku mainan. Dia menilai pengetahuan akan bahan baku berbahaya harus diberikan pada pelaku usaha.

"Pemerintah juga harus mengawal industri mainan dari hulunya, bagaimana mereka memilih bahan baku. Misalnya cat yang tidak mengandung toxin. Harus dipastikan cat yang disuplai ke industri UKM mainan tersertifikasi tidak mengandung toxin," jelasnya.

Selain itu, penerapan SNI ini juga akan berimbas pada kenaikan harga jual mainan, baik yang diproduksi di Indonesia maupun impor.

Maka dari itu, untuk solusi jangka pendek dia memaparkan pemerintah diharapkan mau memberikan bantuan dana terhadap UKM dalam melakukan uji laboratorium.

Sedangkan untuk jangka panjang, pemerintah harus memberikan edukasi dan akses kepada UKM untuk menggunakan bahan baku cat yang tidak mengandung racun.

"Industri cat yang mensuplai produknya kepada produsen mainan juga sebaiknya sudah mendapatkan sertifikat aman," tandasnya.

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya