Liputan6.com, Beijing - Seiring dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi China di level 7,4%, sejumlah bisnis manufaktur mulai ketar-ketir. Para pebisnis mulai menyadari, penghematan biaya produksi saja tak lagi cukup untuk menjaga stabilitas pabrik.
Seperti dikutip dari Inddist, Jumat (18/4/2014), sejumlah pabrik di China kini harus mencari pekerja asing yang bisa dibayar dengan upah rendah. Semua itu dilakukan guna memproduksi mainan, elektronik, dan pakaian berharga terjangkau untuk di ekspor.
Pabrik-pabrik tersebut sekarang harus berhadapan dengan tantangan perubahan prioritas pemerintah mengingat pertumbuhan ekonomi di bidang invesasi dan perdagangan sudah kehilangan momentumnya.
Padahal selama 10 tahun terakhir, dua sektor itu berhasil menghasilkan keuntungan dalam jumlah besar untuk mendorong roda pertumbuhan ekonomi China.
Di saat yang sama, upah penduduk China juga meningkat sementara permintaan gobal masih sangat lemah.
Kondisi itu menekan para investor di bidang manufaktur untuk beralih ke bidang produksi yang lebih maju, mencari perusahaan yang lebih besar dan wilayah yang lebih murah untuk mempertahankan modalnya.
Sejauh ini, pertumbuhan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia itu berada di level 7,4% pada kuartal lalu. Angka tersebut merupakan yang terendah sejak akhir 2012.
Pada 2012, pertumbuhannya juga merosot ke level 2009, tingkatan terendah sejak 1999. Para pemimpin kota Beijing menunjukkan tanda-tanda untuk merubah arah kebijakan bisnisnya.
Advertisement
Pemerintah akan mengurangi ketergantungannya yang sangat besar ke bidang investasi perdagangan dan industri.
Pemerintah China mengharapkan pertumbuhan yang berkelanjutan, tidak menimbulkan polusi dan berbasis pada pengeluaran 1,2 miliar kosumen domestik.
Salah satu pegusaha kabel asal China bahkan terpaksa harus mengurungkan niatnya untuk membeli lebih banyak mesin baru di pabriknya. Perusahaannya memang terkenal di panggung bisnis dunia.
"Ayah saya melarang karena China tak akan bertahan dengan kondisi seperti ini," tandasnya.