Sebelum Lengser, SBY Harus Tuntaskan Masalah Ekspor Timah

Pemerintahan Presiden SBY tidak mewariskan persoalan baru terkait ketentuan ekspor timah kepada pemerintahan baru nanti.

oleh Nurmayanti diperbarui 15 Okt 2014, 20:25 WIB
Diterbitkan 15 Okt 2014, 20:25 WIB
Ilustrasi Timah
(Foto: Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah kalangan mengkritisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 44 Tahun 2014 tentang Ekspor Timah. Regulasi itu dianggap berpotensi untuk kembali memunculkan praktek-praktek ekspor timah ilegal.

Selain itu, Permendag yang baru ini membuat penambang/eksportir besar yang menjual timah batangan, menanggung beban yang lebih kecil, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan hanya dikenakan royalti sebesar 3 persen.

Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta agar pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak mewariskan  persoalan baru terkait ketentuan ekspor timah kepada pemerintahan baru nanti.

Menurut Marwan, untuk mengamankan produk timah dan turunannya, pemerintah tidak boleh absen sedikit pun untuk ambil bagian dalam tata niaga timah yang selama ini seolah-olah ditinggalkan oleh pemerintah. Sebagai contoh, pemerintah harus lebih peduli untuk mengamankan negara ini dari para penyelundup timah yang sering beroperasi di Bangka Belitung.

Tapi saat ini yang terjadi adalah jangankan soal penyelundup, aturan dari Kementerian Perdagangan soal celah ekspor dalam bentuk lain timah saja tidak dipikirkan.

"Lalu bagaimana ini bisa mengamankan timah kita dari penyelundupan. Selama ini Malaysia masih tetap menjual timah karena penyelundupan masih tetap terjadi di Indonesia," katanya di jakarta, Rabu (15/10/2014).

Sebagai contoh, kata Marwan, beberapa waktu lalu ada Kapolda Babel yang jelas terlibat dalam penyelundupan timah ke Malaysia dan Singapura tapi tidak pernah dikenakan sanksi apapun dan hanya dipindahkan ke Polda pusat. "Saya berharap pemerintahan Jokowi-JK mampu menyelesaikan masalah penegakan hukum ini hingga akar-akarnya," tegasnya.

Satu Pintu

Hal tersebut diaminin Budi Santoso, Ketua Komite Kebijakan Nasional Mineral dan Batu Bara dan anggota Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Perhapi), yang mendesak agar tata niaga timah tetap berada dalam satu pintu. Seperti diketahui, sejak Agustus 2013 Indonesia sudah memiliki Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) dan seluruh perdagangan timah di Indonesia bisa melewati BKDI.

"Bayangkan negara seperti Malaysia yang tidak punya komoditas timah tapi bisa memainkan harga timah. Ini pasti ada penyelundup atau penambang ilegal yang menjual secara ilegal dari Bangka Belitung ke Malaysia. Pemerintah mau tidak mau harus menegakkan hukum. Apalagi kalau sampai ada aparat sendiri yang ikut bermain dalam kasus tersebut," tandasnya.

Terpisah, Ketua Umum Asosiasi Eksportir Timah Indonesia (AETI), Jabin Sufianto mengatakan, bahwa kendati indonesia merupakan eksportir timah terbesar dunia, namun Indonesia belum berdaulat dalam menentukan harga timah dunia.

Jabin berharap, pemerintahan baru Presiden jokowi mempunyai orientasi yang jelas jika memang menginginkan indonesia sebagai penentu harga timah dunia. Kejelasan tersebut tercermin dari peraturan dan kebijakan kementerian terkait dan law enforcement terhadap para pelaku perdagangan timah ilegal.

Dengan melakukan sejumlah pembenahan tersebut, diyakini Jabin, dapat meningkatkan penghasilan negara dan menyehatkan kondisi tata niaga timah. (Nrm/Ndw)

Tag Terkait

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya