Liputan6.com, Jakarta - Berbekal dari keinginan untuk meningkatkan nilai tambah dari hasil tambang di Tanah Air sehingga bisa mendongkrak pendapatan negara, Pemerintah mengeluarkan larangan ekspor mineral mentah. Larangan yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, tersebut mulai berlaku pada 12 Januari 2014.
Memang, larangan ekspor mineral mentah tersebut dapat menggerus penerimaan negara dari sektor perpajakan, namun jumlah tersebut tidak besar jika dibanding dengan manfaat dari penerapkan kebijakan tersebut.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Fuad Rahmany menjelaskan, Pemerintah lebih rela kehilangan uang belasan triliun rupiah dibanidng harus membiarkan bijih mineral Indonesia dieksploitasi dan diekspor gila-gilaan ke luar negeri.
"Undang-undang (UU) Minerba ini bertujuan menyelamatkan negara dari pengerukan dan ekspoitasi bahan tambang kita yang gila-gilaan. Sebaiknya kita tata dulu negeri ini supaya jangan sembarang mereka menggali bahan mineral kita, tata lagi sistemnya," terangnya.
Sontak, larangan ekspor mineral mentah tersebut langsung mendapat protes dari beberapa negara lain. Â sejumlah analis Inggris menilai, larangan pengiriman mineral mentah seperti bijih nikel dan bauksit dari Indonesia merupakan ancaman risiko pasokan terbesar bagi negara-negara produsen alumunium dan nikel dalam jangka panjang.
"Dalam pandangan kami, para pemasok mineral alternatif di wilayah Pasifik tak akan mampu menutupi kemerosotan pasokan akibat larangan pengiriman mineral yang diterapkan Indonesia," ungkap sejumlah analis Macquarie dalam laporannya.
Produsen alumunium terbesar ketiga di dunia, Alcoa, bahkan diprediksi menutup salah satu smelternya di Australia, Point Henry Smelter.
Bahkan, Jepang dikhabarkan akan mengajukan protes kepada organisasi perdagangan dunia atau World Trade Organization (WTO) terkait aturan pelarangan ekspor bahan mineral mentah atau ore tersebut.
Akibat penerapan aturan tersebut, harga-harga beberapa komoditas pun langsung melonjak. Lihat saja, dua hari sejak berlakunya larangan tersebut, harga nikel naik 6 persen.
Wajar saja, Indonesia memproduksi 320 ribu ton nikel, atau sekitar 16 persen dari 2 juta ton produksi nikel dunia. Larangan ekspor mineral yang dilakukan telah mengurangi pasokan nikel di pasar internasional.
Advertisement
Ancaman PHK
Ancaman PHK
Selain mendapat protes dari beberapa negara lain, penerapan larangan ekspor mineral mentah berbuntut keluarnya ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terhadap karyawan di beberapa perusahaan tambang. PT Newmont Nusa Tenggara (PTNNT) telah menyampaikan pemberitahuan kepada pemerintah dan karyawan bahwa perusahaan sedang dalam keadaan kahar (force majeure) sesuai kontrak karya.
Hal itu seiring dengan penerapan larangan ekspor yang membuat perusahaan tidak dapat melakukan kegiatan produksi. Akibatnya 80 persen dari 4.000 karyawan Freeport dirumahkan.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM, Dede Suhendra menambahkan, dari catatan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), 47 perusahaan tambang harus menutup usahanya dan merumahkan karyawannya usai aturan tersebut berlaku.
Akibat pemberlakukan larangan ekspor mineral mentah tersebut, para pengusaha tambang pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) pun mengklaim mengalami kerugian hingga Rp 45 triliun. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indutri Indonesia (Kadin) Bidang Pemberdayaan dan Bulog, Natsir Mansyur mengatakan, aturan tersebut membuat para pengusaha tidak melakukan aktivitas produksi karena tidak bisa mengekspor hasi produksinya.
Hal tersebut berdampak pada finansial para pengusaha, sehingga para pengusaha tidak bisa membayar kewajibannya. "Karena kredit macet leasing tidak bisa bayar, ya sudah tidak keluar itu barang. Kalau mau disita, sitalah," kata Natsir.
Advertisement