Rupiah Masih Keok, DPD Panggil Menkeu & Gubernur BI Pekan Depan

Rezim devisa bebas dan melepas kurs rupiah ke pasar justru tidak mempengaruhi neraca perdagangan maupun neraca transaksi berjalan.

oleh Fiki Ariyanti diperbarui 29 Mar 2015, 18:00 WIB
Diterbitkan 29 Mar 2015, 18:00 WIB
Ajiep Padindang, Anggota DPD RI 2014-2019 dari Sulawesi Selatan.
(Foto: Liputan6/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan Jumat lalu (27/3) kembali melemah di angka Rp 13.064 per dolar Amerika Serikat (AS). Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menilai kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) untuk stabilisasi nilai tukar kurang optimal.

Anggota DPD RI 2014-2019, Ajiep Padindang mengatakan, DPD sebagai lembaga negara harus mengawal keamanan uang negara termasuk rupiah. Ini sangat krusial karena menyangkut perekonomian Indonesia ke depan.

Komite IV dalam menjalankan peran dan fungsinya, kata dia, terus melakukan kajian dengan melibatkan banyak pakar dan setiap saat merilis rekomendasi yang dapat dijadikan pertimbangan pemerintah dalam mengambil setiap kebijakan lebih lanjut.

"Minggu depan sudah kami agendakan berbicara serius dengan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro dan Gubernur BI Agus Martowardojo," tutur Ajiep saat Diskusi Bincang senator 2015 "Gejolak dan Masa Depan Rupiah" di Brewerkz Restaurant & Bar, Jakarta, Minggu (29/3/2015).

Dia menyoroti kinerja BI yang terlalu menonjol pada intervensi rupiah di pasar jika terjadi pelemahan nilai tukar rupiah. Sayangnya kurang maksimal dalam menjalankan fungsi pengendalian dan pengawasan kepada lembaga keuangan dan pelaku usaha yang menggenggam dolar AS.

"Ini jadi satu pertanyaan mengapa? Padahal BI diberikan fungsi pengawasan dan pengendalian karena sistem keuangan Indonesia yang bebas. Pengusaha bebas mempunyai uang dalam mata uang apapun, termasuk keluar masuk memarkirkan devisanya (devisa bebas)," paparnya.

Dengan begitu, Ajieb mengaku, rezim devisa bebas dan melepas kurs rupiah ke pasar justru tidak mempengaruhi neraca perdagangan maupun neraca transaksi berjalan. Malahan aturan ini mengambang pada belanja modal dan jasa.

"Memang sangat sulit mengendalikan dolar AS, tapi BI kan ada pengawasan dan pengendalian semua transaksi pakai dolar AS. Tidak mungkin juga kita membatasi kegiatan transaksi investor," tutur dia.

Sudah Berdampak

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menambahkan, terpuruknya nilai tukar rupiah telah mencekik UKM yang sebagian besar mengandalkan bahan baku dari impor.

"Buat pengusaha memang sudah mengganggu. Contohnya, pengusaha sarung terpaksa menurunkan separuh atau 50 persen dari produksinya karena 75
persen bahan bakunya dari impor," jelasnya.



Contoh lain, kata Sarman, pengusaha tempe ikut menyusutkan besaran produksi tempe karena bahan baku kedelai berasal dari negara lain. Termasuk perusahaan farmasi yang akan kewalahan dengan hantaman pelemahan kurs mengingat porsi 94 persen hingga 95 persen bahan baku obat dibeli dari luar negeri.

"Jadi pelemahan sudah sangat mengganggu. Tapi pemerintah cuma bilang jangan panik, dan kami sudah bertahan supaya tidak panik. Kalau dolar menguat terus bagaimana kami tidak panik," keluh dia.

Pasalnya, sambung Sarman, kondisi sulit yang dihadapi UKM berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebagai langkah efisiensi perusahaan. Bukan hal mustahil, PHK juga dilakukan korporasi besar yang tidak kuat menanggung pelemahan kurs rupiah.

"Pengusaha sarung yang mengurangi produksi sampai 50 persen dapat memangkas jumlah tenaga kerja alias PHK. Jadi pengusaha akan melakukan itu sampai rupiah kembali stabil," ucapnya. (Fik/Gdn)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya