30 ABK RI Jadi Korban Perbudakan di Kapal Nigeria

"Pada 7 april 2015, ada Kapal Thunder terdaftar di Negeria. Begitu tertangkap mereka tenggelamkan diri," jelas Siddarth Chakrawarty.

oleh Septian Deny diperbarui 18 Mei 2015, 17:39 WIB
Diterbitkan 18 Mei 2015, 17:39 WIB
4-suasana-kapal130807b.jpg
Anak Buah Kapal (ABK) sedang melepas tali tambatan kapal saat kapal akan berlayar. (Liputan6.com/Andrian M Tunay)

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi konservasi perikanan dunia, Sea Shepherd Global menyatakan bahwa ada puluhan ribu anak buah kapal (ABK) warga negara Indonesia yang jadi korban perbudakan di kapal asing.

Captain Sea Shepherd Global, Siddarth Chakrawarty menyatakan, salah satu kapal yang melakukan perbudakan kepada ABK Indonesia berhasil ditangkap pada pada bulan lalu. Dia mengungkapkan bahwa pihaknya berhasil menemukan puluhan ABK Indonesia yang menjadi korban perbudakan di Kapal Thunder. Kapal tersebut terdaftar di Nigeria.

"Pada 7 april 2015 lalu, ada Kapal Thunder terdaftar di Negeria. Begitu tertangkap mereka tenggelamkan diri. Dari 40 ABK, ada 30 ABK yang warga negara Indonesia," ujarnya di Kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Jakarta Pusat, Senin (18/5/2015).

Selain di kapal tersebut, perbudakan terhadap ABK Indonesia juga terjadi di kapal Kunlun yang juga terdaftar di Nigeria. "Di kapal Kunlun juga terdapat ABK warga negara Indonesia. Kapal ini berhasil ditangkap di Malaysia," lanjut dia.

Menurut Siddarth, nilai perikanan yang dihasilkan oleh kedua kapal tersebut mencapai US$ 10 juta. Selain melakukan penangkapan ikan, kapal-kapal ini diduga menjadi penampung barang-barang yang dilarang untuk diperjualbelikan.

"Jumlah uang Kulden dan Thunder US$ 10 juta. Kalau ada ribuan, ada ribuan juta dolar nilai perdagangannya. Selain itu juga disinyalir digunakan untuk perdagangan satwa liar, senjata api dan narkoba," tandasnya.

Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti mengaku bahwa perbudakan Anak buah Kapal (ABK) sulit untuk dihilangkan. Salah satu penyebab munculnya kekhawatiran tersebut karena banyak pelaku perbudakan yang masuk ke jajaran organisasi atau asosiasi perikanan.

Susi pun memberikan contoh, salah satu direksi PT Pusaka Benjina Resources (PBR) yang diduga menjalankan praktik perbudakan kepada ABK ternyata masuk ke dalam kepengurusan salah satu asosiasi di bidang kelautan.

"Direksi Benjina duduk di Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN), saya merasa sangat khawatir akhirnya organisasi prestisius ditunggangi untuk melegalkan ilegal fishing," kata dia.

Belum lagi, langgengnya kasus perbudakan karena dukungan secara terselubung dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Susi mengatakan, memang ada LSM yang benar-benar membantu masyarakat. Namun demikian, ada pula LSM yang berperilaku buruk. "Banyak LSM mengatasnamakan kepentingan nelayan, tapi untuk kepentingan asing," ujarnya. (Dny/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya