Ini Dasar BI Pertahankan Tingkat Suku Bunga 7,5%

Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan ada beberapa alasan mengapa BI memilih untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuannya.

oleh Septian Deny diperbarui 19 Mei 2015, 18:29 WIB
Diterbitkan 19 Mei 2015, 18:29 WIB
agus martowardojo
(Foto: Bank Indonesia)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuannya (BI rate) pada level 7,5 persen. Gubernur BI Agus Martowardojo menuturkan ada beberapa alasan mengapa BI memilih untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuannya.

Pertama, dari sisi eksternal, pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan resiko di pasar keuangan global yang masih tinggi.

Menurutnya, pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya perkiraan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan China.

Perkiraan ekonomi AS tersebut didorong melambatnya kegiatan produksi terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia.

"Kemudian kebijakan normalisasi The Fed sudah dipastikan. Hanya menunggu waktunya kapan dan berapa besar akan meningkat. Namun kondisi dunia secara umum masih lebih tidak pasti dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ini jadi perhatian kita, karena periode ini periode risk on-risk off yang langsung berdampak kepada negara lain termasuk Indonesia," ujarnya di Gedung BI, Jakarta, Selasa (19/5/2015).

Selain itu, pertumbuhan ekonomi China yang masih mengalami koreksi sehingga memberikan berdampak pada mitra dagang utamanya termasuk Indonesia.

"China merevisi pertumbuhannya hingga di bawah 7 persen, bahkan 6,8 persen," lanjutnya.

Selain itu, harga komoditi ekspor Indonesia pada 2014 yang terkoreksi 4 persen-5 persen. Dan pada 2015 diharapkan komoditi terkoreksi di atas 5,5 persen, namun saat ini sudah terkoreksi hingga sebesar 11,5 persen, seperti batubara, mineral, sawit, minyak dan gas.

"Untuk minyak dan gas saja yang pada tahun lalu ada koreksi harga dan sekarang ada perbikan khususnya di tempat penghasil minyak seperti Riau, Kalimantan Timur, Papua Barat dan Aceh itu besar sekali sehingga pada kuartal I betul-betul wilayah Sumetara dan Kalimantan mengalami pertumbuhan yang tertekan karena komiditi andalan itu tertekan," kata dia.

Sementara dari sisi internal, pemerintah juga masih perlu mewaspadai ada inflasi yang sudah dikisaran 7 persen (yoy). Meski pada 2013 dan 2014 tingkat inflasinya lebih tinggi yaitu sebesar 8,3 persen.

Namun angka inflasi 7 persen tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan negara berkembang lain dan negara ASEAN Five yang inflasinya berada di bawah 4 persen.

"Kalau sekarang sampai akhir April sebesar 7 persen (yoy) atau 6,9 persen masih tinggi, tapi diperkirakan di kuartal III masih diatas 6 persen. Baru di 2015 akhir akan ada di 4+-1 persen. Kita cukup gembira karena sekarang ada di kisaran 4,2 persen. Tapi resiko masih banyak, antara lain resiko nilai tukar, kalau terjadi dampak inflasi bisa serius. Kalau harga minyak meningkat dan BBM mengalami penyesuaian dampak ke inflasi. Volatile food juga harus kita jaga," tandas dia.(Dny/Nrm)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya