Gubernur BI Ungkap Penyebab Pelemahan Rupiah

China sedang menjalankan kebijakan pemangkasan nilai mata uang karena sedang terjadi perlambatan ekonomi.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 19 Agu 2015, 20:33 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2015, 20:33 WIB
20150812-Rupiah-Anjlok
Petugas memperlihatkan uang pecahan US$100 dan rupiah di pusat penukaran uang, Jakarta, , Rabu (12/8/2015). Reshuffle kabinet pemerintahan Jokowi-JK, nilai Rupiah terahadap Dollar AS hingga siang ini menembus Rp 13.849. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo mengungkapkan penyebab gejolak di nilai tukar rupiah saat ini. Ada dua faktor yang membuat nilai tukar rupiah terus tertekan. 

Agus mengatakan, faktor pertama adalah faktor eksternal. Penyebabnya diawali oleh Amerika Serikat (AS) yang menggelontorkan dolar AS ketika perekonomiannya sedang turun pada 2008. Kini karena perekonomian AS sudah mengalami penguatan, maka mereka berencana untuk menaikan tingkat suku bunganya dan menarik dolar AS. Hal tersebut mengkawatirkan negara lain termasuk Indonesia. 

Selain itu, China juga sedang menjalankan kebijakan pemangkasan nilai mata uang karena sedang terjadi perlambatan ekonomi. Dengan pemangkasan nilai mata uang atau devaluasi tersebut diharapkan produk ekspor China bisa dijual murah sehingga bersaing dengan produk dari negara lain. Dengan langkah itu diharapkan industri di negeri Tirai Bambu tersebut bisa kembali berjalan maksimal.

Menurut Agus, kedua hal tersebut berdampak ke Indonesia dengan melemahnya nilai tukar rupiah. "Kondisi bisnis tidak baik, mau tak mau ekspor turun. Harga komoditi 3 tahun terakhir umumnya sumber daya alam secara kuartal per kuartal terus turun berdampak pada kinerja perekonomian Indonesia," kata Agus, dalam sebuah diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Rabu (19/8/2015).

Agus menambahkan, faktor kedua yang membuat perekonomian Indonesia bergejolak adalah melambatnya pertumbuhan ekonomi saat ini hanya 4,7 persen. "Sedangkan di Indonesia sendiri ada dua tantangan. Pertama pertumbuhan ekonomi yang pelan. Sekadang di kisaran 4,7 persen. Kondisi ini membuat dunia mempertanyakannya dan ini jadi risiko," ungkapnya.

Ia melanjutkan, selain perlambatan ekonomi adalah masalah fiskal Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih menjadi negara impor hal tersebut sangat berpengaruh pada fluktuasi nilai tukar rupiah. Namun, hal tersebut dapat diatasi oleh pemerintah dengan mengambil langkah sinergi antar instasi, sehingga defisit antar impor dan ekspor bisa ditekan.

"2014 defisit impor ekspor US$ 27 miliar tapi tahun ini ambil langkah sinergi defisit turun di bawah US$ 20 miliar," pungkasnya. (Pew/Gdn)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya