Liputan6.com, Bandung - Pedagang ayam di Bandung menggelar aksi mogok jualan terhitung sejak Kamis (20/8/2015). Aksi mogok tersebut sebagai bentuk protes dengan melonjaknya harga ayam yang telah menembus harga Rp 44 ribu per kilogram (kg).
Ketua bidang perunggasan persatuan warung dan pasar Tradisional (Pesat) Jawa Barat, Yoyo Sutarya mengatakan, keputusan tersebut diambil setelah para pedagang unggar melakukan pertemuan pada 16 Agustus 2015 lalu.
"Ada kesepakatan diadakan mogok karena memang pasokan barang sudah hampir tidak ada. Kita mulai pukul 12.00 WIB," katanya saat ditemui di Pasar Cicadas, Kota Bandung, Kamis (20/8/2015). Pedagang unggas yang melakukan aksi mogok mencapai 5 ribu orang.
Yoyo melanjutkan, para pedagang kini harus membeli ayam dari para peternak untuk setiap kilonya dengan harga Rp 38 ribu per kg. "Kalau kami jual harganya paling bagus Rp 44 ribu per kg kalau siang turun jadi Rp 38 ribu per kg hingga Rp 40 ribu per kg. Kalau besok paginya kami jual rugi Rp 35 ribu per kg hingga 36 ribu per kg," tuturnya.
Menurutnya, harga jual daging ayam untuk setiap ekornya seharusnya maksimal di angka Rp 30 ribu per kg. "Kami akan melakukan aksi demo hingga Minggu (23/8/2015). Kami ingin menuntut kestabilan harga ayam agar kembali normal lagi," ucap Yoyo.
Sebelumnya, sejumlah pedagang ayam di wilayah Jabodetabek menggelar mogok jualan. Harga ayam tinggi di tingkat pedagang pasar tradisional menjadi salah satu pemicu mogok tersebut. Harga ayam potong berkisar Rp 38 ribu-Rp 40 ribu per kg.
Ketua Umum Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GAPPI) Anton J Supit mengatakan harga ayam potong tinggi di tingkat pedagang lantaran panjangnya mata rantai dari peternak hingga ayam sampai ke pasar. "Karena mata rantainya yang panjang hingga ke pasar," ujar Anton.Â
Dia menjelaskan, tingkat peternak sebenarnya harga normal ayam hidup hanya sekitar Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg. Namun saat sampai ke pedagang, harga ayam bisa meningkat hingga lebih dari dua kali lipat. "Harga daging normal Rp 16 ribu-Rp 17 ribu per kg hidup. Kalau dijual per ekor di farm (peternakan) Rp 20 ribu," lanjutnya.
Anton menilai, tingginya harga ayam ini justru tidak dinikmati oleh para pedagang maupun peternak. Harga daging ayam tinggi ini hanya dinikmati oleh pihak-pihak di dalam rantai distribusi.
"Yang untung itu mata rantainya. Jadi 80 persen-90 persen (keuntungan) di sana, di pasar modern itu 10 persen. Jadi jangan salahkan peternak. Ini belum untung sudah disalahkan," kata dia.
Anto juga menyatakan, para pengusaha telah mengeluhkan soal panjangnya rantai distribusi ini kepada pemerintah, namun hingga saat ini belum ada tindakan nyata yang dilakukan pemerintah.
"Itu panjang, tidak hanya satu. Ini yang harus dibenahi. Kita sudah minta pemerintah atur, maunya di tata kembali oleh Kementerian Pertanian. Ini karena ego sektoral," ujar Anton. (Okan Firdaus/Gdn)