Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih berkutat di level 14.000 pada perdagangan Selasa pekan ini. Sentimen eksternal masih mendominasi pergerakan nilai tukar rupiah terutama ketidakpastian kenaikan suku bunga AS dan China sengaja melemahkan mata uangnya Yuan.
Berdasarkan data RTI pukul 09.30 WIB, nilai tukar rupiah berada di kisaran 14.053 per dolar AS. Pergerakan rupiah ini menguat tipis dari pukul 08.30 WIB di kisaran 14.058 per dolar AS. Sementara itu, berdasarkan data Bloomberg, nilai tukar rupiah dibuka melemah tipis 6 poin ke level 14.055 per dolar AS dari penutupan perdagangan Senin 24 Agustus 2015 di kisaran 14.049 per dolar AS. Pagi ini, nilai tukar rupiah bergerak di kisaran 14.034-14.072 per dolar AS.
Analis PT Bank Saudara Tbk, Rully Nova menuturkan nilai tukar rupiah masih betah di kisaran 14.000 masih dipengaruhi sentimen eksternal. Pertama, ketidakpastian kenaikan suku bunga Amerika Serikat. Kedua, China melemahkan mata uang Yuan. Langkah China tersebut membuat kekhawatiran bertambah seiring ekonomi China sudah melambat.
Advertisement
Rully mengatakan, tekanan terhadap rupiah masih cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi China melambat akan berdampak ke pertumbuhan ekonomi Asia. Hal itu mendorong pelaku pasar akan mengalihkan dana investasi ke AS dan Eropa.
"Ada aliran dana keluar karena investor melihat kondisi ekonomi Asia sudah turun. Kondisi ekonomi Asia tidak pasti. Jadi Asia mulai ditinggalkan," ujar Rully saat dihubungi Liputan6.com.
Akan tetapi, bila pemerintah Indonesia mampu merealisasikan belanja modalnya ke infrastruktur ada peluang untuk menahan pelemahan dan volatilitas rupiah. "Kinerja ekspor tak bisa diharapkan lagi dan konsumsi masyarakat sudah turun. Jadi penyumbang pertumbuhan ekonomi dari belanja pemerintah," kata Rully.
Rully menambahkan, hingga akhir tahun, sentimen yang akan mendominasi laju rupiah masih dari kepastian kenaikan suku bunga AS dan realisasi belanja pemerintah. Ia memprediksikan, nilai tukar rupiah masih berada di level 14.000 per dolar AS hingga akhir tahun ini.
"Tekanan masih akan berlanjut. Disebabkan prospek ekonomi Asia muram karena ekonomi China melambat. Hal itu berdampak terhadap semua mata uang di Asia termasuk rupiah," kata Rully. (Ahm/Gdn)