Inovasi Olah Minyak, Pendapatan Pertamina Naik US$ 174 Juta/Bulan

Selain memberikan nilai tambah melalui inisiatif-inisiatif, Pertamina juga berhasil melakukan akselerasi berbagai proyek.

oleh Pebrianto Eko Wicaksono diperbarui 29 Jun 2016, 11:26 WIB
Diterbitkan 29 Jun 2016, 11:26 WIB
Pendapatan Pertamina
Pendapatan PT Pertamina bertambah dari berbagai program inovasi pengolahan minyak mentah sepanjang 2015-2016.

Liputan6.com, Jakarta - Pendapatan PT Pertamina (Persero) bertambah US$ 174,11 juta per bulan, dari berbagai program inovasi pengolahan minyak mentah sepanjang 2015-2016.

Direktur Pengolahan Pertamina Rahmad Hardadi mengatakan, sumber tambahan pendapatan tersebut berasal dari pengoperasian Residual Fluid Catalytic Cracker Cilacap (RFCC) dan Kilang TPPI, yang memberikan kontribusi terbesar hingga US$ 131 juta per bulan.

Nilai tambah tersebut bersumber dari pengurangan impor Premium sekitar 30-42 persen, serta pengurangan impor solar sebanyak 44 persen.

"Nilai tambah signifikan juga bersumber dari tidak adanya lagi impor HOMC dari semula sekitar 400 ribu barel per bulan. Nilai tambah dari penghilangan impor HOMC tersebut mencapai sekitar US$ 15 juta per bulan," kata Hardadi, di Jakarta, Rabu (29/6/2016).

Di sisi lain, Pertamina menghentikan ekspor LSWR dan Naphta untuk diolah menjadi produk bernilai lebih tinggi di kilang dalam negeri, termasuk di antaranya memproduksi HOMC, Solar, dan Propylene.

Sebelumnya, kelebihan naphta diekspor dengan nilai yang rendah, yaitu MOPS – US$6 per barel dengan volume ekspor mencapai 400-500 ribu barel per bulan. Begitu kami hentikan ekspor dan kami proses di dalam negeri, harga Naphta langsung melonjak menjadi MOPS + US$3,3 per barel

"Sehingga seolah-olah kami mendapatkan nilai tambah sebesar US$9,3 per barel dari Naphta saja,” ungkap  Hardadi.

Selain itu,  sentralisasi pengadaan melalui manajemen kategori teroptimasi menghasilkan penghematan sebesar US$ 10,8 juta per bulan. Pertamina, mengekspor kerosene menyusul kesuksesan program konversi Minyak Tanah ke Elpiji dengan nilai tambah bagi perusahaan sebesar US$ 7,1 juta per bulan.

“Kami juga memproduksi Pertalite, Pertamax Series, dan Dexlite dengan nilai tambah sekitar US$3,12 juta per bulan,” ujar Hardadi.

Selain memberikan nilai tambah melalui inisiatif-inisiatif, lanjut Rahmad, Pertamina juga berhasil melakukan akselerasi berbagai proyek, seperti RFCC Cilacap dari semula diperkirakan baru beroperasi pada April 2016 menjadi September 2015.

Kemudian dan PLBC Cilacap yang telah dua tahun tertunda, proses lelang tuntas dalam waktu empat bulan dengan pengurangan biaya 16 persen dari estimasi awal. Pertamina juga melakukan percepatan untuk reaktivasi unit proses calciner di Kilang Dumai yang sudah 22 tahun berhenti operasi.

Pertamina juga telah melakukan inovasi in house untuk pengembangan minarex menjadi TDAE sebagai bahan baku rubber sintetis berkualitas tinggi.

“Kalau menggunakan pihak ketiga, paten untuk teknologi ini cukup mahal dan kami akhirnya melakukannya sendiri," tutur Hardadi.

Untuk mengantisipasi terus berkurangnya pasokan minyak mentah untuk kilang Dumai dari sumur-sumur yang ada, Pertamina melakukan langkah terobosan untuk melakukan open access yang memungkinkan Kilang Dumai dapat dipasok dari minyak mentah impor.

Percepatan terakhir adalah untuk pembangunan Single Point Mooring dan Subsea Pipe Line yang sudah tertunda perancangannya dalam jangka waktu 10 tahun, kini tuntas dan telah memulai kontrak EPC.(Pew/Nrm)

**Ingin mendapatkan informasi terbaru tentang Ramadan, bisa dibaca di sini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya