Menperin: Harga Gas Turun Bakal Berdampak Positif ke Ekonomi RI

pada 2015, penggunaan gas bumi untuk sektor industri mencapai 2.280 million metric standard cubic feet per day (MMscfd).

oleh Septian Deny diperbarui 22 Sep 2016, 16:42 WIB
Diterbitkan 22 Sep 2016, 16:42 WIB
Airlangga Hartarto
Airlangga Hartarto

Liputan6.com, Jakarta Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto menyatakan penurunan harga gas bagi industri menjadi langkah awal untuk memperoleh efek berganda (multiplier effect) yang berpengaruh positif kepada perekonomian nasional.

Efek berganda tersebut, diantaranya mendorong pertumbuhan industri, peningkatan serapan tenaga kerja, dan penghematan devisa.

‎Hal ini disampaikan Menperin saat membuka Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Efek Berganda dari Penurunan Harga Gas Industri dan Dampaknya Bagi Perekonomian Nasional di Kantor Kementerian Perindustrian.

"Sektor industri prioritas dapat tumbuh maksimal dan mendukung berkembangnya sektor yang berpotensi sebagai substitusi impor, seperti industri polyethylene dan polypropylene di sektor kimia," ujar dia dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (22/9/2016).

Dia menjelaskan, pada 2015, penggunaan gas bumi untuk sektor industri mencapai 2.280 million metric standard cubic feet per day (MMscfd). Adapun pembagiannya, yakni untuk bahan baku industri pupuk dan petrokimia sebesar 1.086 MMscfd, untuk kontak langsung dengan produk di industri keramik, kaca, dan semen sebanyak 337 MMscfd, serta sebagai energi untuk industri lain sebesar 857 MMscfd.

‎Namun sayangnya hingga saat ini harga gas industri di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan negara tetangga ASEAN. Sebagai contoh, harga gas di Singapura sekitar US$ 4-US$ 5 per MMBTU, Malaysia hanya US$ 4,47 per MMBTU dan Vietnam seebesar US$ 7,5 per MMBTU.

“Apabila harga gas di Indonesia berada pada level yang sama dengan negara-negara tetangga, maka kami yakin produk-produk Indonesia akan memiliki daya saing yang makin kuat," kata dia.

Dia mengatakan, idealnya harga gas untuk industri dipatok pada harga US$ 4-US$ 5 per million metric british thermal unit (MMBTU). “Namun, kondisinya industri kita membeli gas pada kisaran harga US$ 7-US$ 10 per MMBTU bahkan ada yang mencapai US$ 12-US$ 14 MMBTU," ungkap dia.

Oleh karena itu, lanjut Airlangga, Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menyambut positif penerbitan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 yang menjadi dasar hukum revisi harga gas ke industri sejak Mei lalu.

Dengan beleid tersebut, diharapkan harga gas untuk industri yang saat ini di atas US$ 6 per MMBTU berpotensi dapat diturunkan.

Namun demikian, dia tetap memandang sektor-sektor yang telah tertuang dalam Perpres ini masih perlu diperluas. Penambahan sektor industri tersebut masuk dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan telah dibahas dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

"Maka, kami mengusulkan adanya revisi dari Perpres ini dengan menambah cakupan sektor industri dari tujuh sektor menjadi 10 sektor serta ditambah industri-industri yang berlokasi di kawasan industri,” ungkap dia.

Kesepuluh sektor industri tersebut, yakni Industri Pupuk, Industri Petrokimia, Industri Oleokimia, Industri Baja/Logam Lainnya, Industri Keramik, Industri Kaca, Industri Ban dan Sarung Tangan Karet, Industri Pulp dan Kertas, Industri Makanan dan Minuman, serta Industri Tekstil dan Alas Kaki.

Airlangga juga menegaskan, ‎pada era industrialisasi ini, gas merupakan salah satu infrastruktur energi yang mutlak bagi peningkatan daya saing industri nasional. Untuk itu, pihaknya bertekad menjaga ketersediaan dan harga gas industri yang kompetitif.

"Paradigma terhadap gas harus diubah, agar bukan hanya sebagai komoditas tetapi menjadi infrastruktur penting dalam industri," tandas dia.(Dny/Nrm)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya