Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah menggodok sejumlah rencana penyiapan tenaga kerja di sektor prioritas. Upaya itu sesuai dengan perintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar tenaga kerja Indonesia berkualitas dan siap bersaing di tengah serbuan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, ada delapan profesi yang masuk dalam kebijakan pasar bebas seperti tercantum dalam ASEAN Mutual Recognition Agreement (MRA), yakni Insinyur, arsitek, tenaga pariwisata, akuntan, dokter, dokter gigi, surveyor, dan perawat.
MRA masing-masing profesi telah menetapkan standar dan kompetensi yang diperlukan di kancah ASEAN. Nantinya, Indonesia bisa menerima tenaga kerja dari negara-negara ASEAN untuk profesi-profesi ini, begitu juga sebaliknya.
Advertisement
Adapun sektor prioritas dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) berjumlah 12 sektor, yakni produk berbasis agro, produk berbasis karet, produk berbasis kayu, e-ASEAN, kesehatan, transportasi udara, elektronika, pariwisata, tekstil dan produk tekstil, perikanan dan produk perikanan, otomotif, dan jasa logistik.
“Presiden selalu mengingatkan agar kita menyiapkan tenaga kerja yang terampil dan berkualitas dalam jumlah jutaan, bukan ratusan ribu orang lagi,” kata Darmin di Jakarta, seperti ditulis Jumat (9/12/2016).
Dia menjelaskan, untuk mencetak tenaga kerja terampil yang dibutuhkan industri, pemerintah merancang pendidikan dan pelatihan vokasi yang diprioritaskan di bidang pembangunan infrastruktur, sertifikasi tanah rakyat, industri manufaktur, farmasi, dan pariwisata.
“Untuk menyediakan tenaga kerja besar-besaran, kita butuh tempat pelatihan dengan peralatan yang benar-benar sesusai dengan yang dibutuhkan industri. Jadi kalau lulus, tak perlu ada adjustment lagi,” ujar Darmin.
Karena itu, dia menegaskan perlunya identifikasi mengenai profesi apa saja yang dibutuhkan industri, termasuk industri dengan skala besar agar bisa dilihat dari sisi permintaannya. “Kalau tidak begitu, kita tidak akan pernah melahirkan kelembagaan yang kuat untuk pelatihan dan sertifikasinya,” ucapnya.
Darmin berharap, sistem vokasional dan kompetensi bisa saling berintegrasi. Menurutnya, nantinya pelajar diharapkan dapat memperoleh sertifikat kompetensi pada setiap jenjang pelatihan. “Jadi setiap tahun, siswa bisa mendapat sertifikat kompetensi tertentu. Begitu juga pada tahun berikutnya, sehingga ketika lulus dia akan mendapat beberapa sertifikat kompetensi tertentu dan ijazah," papar dia.
Dengan begitu, Darmin menambahkan, pemerintah masih harus mempelajari sekolah-sekolah vokasional yang sudah ada, terutama yang selama ini sudah terintegrasi dengan industri. Supaya pemerintah dapat memperoleh gambaran terbaik dari lembaga vokasional yang sudah ada.
Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri mengungkapkan, untuk merealisasikan semua itu perlu sinergi akademik, perguruan tinggi dan pelatihan vokasionalnya sehingga standar kompetensi bagi tenaga kerja bisa dijalankan.
“Misalnya untuk orang yang magang, tentu harus jelas kerangka kerjanya seperti apa, insentifnya berapa, jangka waktu kerjanya berapa lama. Baru setelah itu dia diberikan sertifikasi agar keluarnya nanti dia bisa dipercaya oleh penyedia lapangan kerja karena memiliki kompetensi,” tutur Hanif.
Sementara itu, Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto menyatakan perlunya pemerintah menggandeng industri untuk menghasilkan tenaga kerja yang memiliki kompetensi. “Untuk mengikutkan industri secara masif, kita sedang merancang bagaimana caranya industri membuka pintu untuk kerja sama dengan sekolah menengah kejuruan (SMK),” ujarnya.
Selama ini, menurut Airlangga, Indonesia hanya memiliki guru SMK yang berkualitas sekitar 20 persen saja. Dalam meningkatkan kualitas pengajar SMK, Kemenperin sedang menyiapkan konsep yang jelas.
"Tenaga kerja industri yang sudah memasuki masa pensiun (usia 56 tahun), notabene sudah berkecimpung di dunia industri cukup lama, kita pindahkan saja menjadi guru SMK. Tentu kita beri modal berupa persiapan dan pelatihan sebelum terjun menjadi guru,” dia mengatakan.