Liputan6.com, Jakarta - Sebuah universitas swasta di Thailand mulai menerima beras sebagai alat pembayaran biaya kuliah. Ini dilakukan lantaran negara tersebut sedang berjuang di tengah pasokan yang berlebih sehingga menekan pendapatan para keluarga yang bekerja di sektor pertanian.
Mahasiswa Rangsit Universit di Bangkok Utara dapat membayar uang semester depan dengan beras. Worachat Churdchomjan, salah satu dekan yang membuat program tersebut menyampaikan hal itu. Tujuannya untuk membantu keluarga petani.
Ia juga menuturkan, universitas juga akan menghargai hasil pertanian dengan harga tinggi sejak harganya mendekati level terendah.
Strategi universitas ini membantu 16 juta masyarakat Thailand yang tergantung dengan pertanian padi. Mereka sedang berjuang untuk menutupi biaya lantaran pasokan berlebih di domestik dan pasar ekspor. Sementara itu, penguasa militer Thailand atau junta juga telah meluncurkan lebih dari US$ 2 miliar untuk mendukung meringankan sektor pertanian.
Baca Juga
Petani juga menggunakan sejumlah cara untuk menjual hasil pertaniannya dengan lewat Facebook. Berdasarkan data pemerintah Thailand dan Amerika Serikat, stok beras di Thailand mencapai sekitar 8 juta metrik ton atayu setara dengan 20 persen dari perdagangan global yang diproyeksikan 40,6 juta ton.
Ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara ini mengekspor setengah dari hasil tahunannya. Produksi pertanian pun diperkirakan meningkat pada September 2017.
Witsanu Sukmoonsiri, mahasiswa berusia 22 tahun ini, salah satu dari 19 mahasiswa yang menggunakan beras untuk biaya kuliah."Orangtua saya sudah pergi untuk mendapatkan pinjaman," ujar Witsanu seperti dikutip dari laman Bloomberg, Rabu (28/12/2016).
Ia berencana bayar 20.620 baht atau sekitar US$ 574 biaya kuliah semester Januari-April dengan beras dari hasil pertanian keluarganya. Harga rata-rata beras Thailand sekitar 8,294 baht per ton pada November. Angka ini terendah sejak Februari 2007. Hal itu berdasarkan data pemerintah. Oleh karena itu, universitas tersebut mendukung para petani dengan sejumlah cara.
"Universitas punya kebijakan untuk mendukung petani agar mengurangi biayanya. Apalagi mereka adalah tulang punggung negara ini," ujar Worachat.
Di salah satu provinsi Thailand, Ubon Ratchathani, Suphatson Chanthamon, petani berusia 25 tahun berusaha mencoba jual beras di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) milik pemerintah yaitu PTT Pcl. Ia menuturkan, kalau dirinya dapat memperoleh pendapatan lebih besar dengan menjual beras di SPBU.
"Pada harga sekarang bila menjual ke pabrik beras kami tidak akan mendapatkan uang untuk menutupi biaya produksi. Tapi menjual langsung kepada pembeli masih bisa mendapatkan keuntungan kecil. Pasti kami tidak akan kehilangan uang," ujar dia.
Beras telah menjadi isu sensitif di Thailand. Apalagi junta militer kembali ke politik tahun depan. Thaksin Shinawatra dan Yingluck Shinawatra, yang digulingkan dalam kudeta 2006 dan 2016 mengambil peran sosial media untuk membagi-bagikan beras sebagai hadiah tahun baru dan mendesak warga Thailand melakukan hal sama.
Keluarga Shinawatra dan sekutunya telah menuduh junta militer tidak memiliki langkah untuk membantu petani sehingga membebani ekonomi.
"Anda harus menciptakan daya beli masyarakat miskin. Anda harus membiarkan hasil pertanian dijual dengan harga baik.Intervensi pasar diperlukan," ujar Watana Muangsook, mantan menteri dan kristikus junta.
Junta militer mendorong petani untuk beralih ke tanaman lain serta menunda penjualan agar meningkatkan harga.
Advertisement
Â