Liputan6.com, Jakarta Kalangan industri menilai Indonesia saat ini masih defisit tembakau baik secara kualitas, kuantitas hingga varietas. Sehingga, impor bahan baku rokok tersebut hingga saat ini masih dibutuhkan oleh industri, terutama untuk jenis atau varietas yang tidak ada di Indonesia seperti tembakau Virginia dan Oriental.
Oleh karena itu, para pelaku industri menilai pembatasan impor tembakau di tengah defisit saat ini dinilai tidak tepat. Akibatnya, impor masih dibutuhkan oleh industri, terutama varietas yang tidak dapat dibudidayakan di dalam negeri, seperti tembakau Virginia dan Oriental.
Baca Juga
Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia Muhamin Moeftie mengatakan, maka dari itu wacana pembatasan impor di tengah defisit dinilai tidak tepat. Dia menilai, alih-alih pembatasan impor tembakau, pemerintah sebenarnya dapat menetapkan kebijakan bea masuk yang sedikit lebih tinggi terhadap varietas yang tidak dapat dibudidayakan ataupun varietas yang jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.
"Bea masuk bisa menjadi solusi," ujar Moeftie di Jakarta, Senin (7/8/2017). T
Dalam lima tahun terakhir, rata–rata produksi tembakau di dalam negeri selalu di bawah 200.000 ton per tahun. Sementara, permintaan tembakau berkisar 320.000 ton per tahun.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi IV Firman Subagyo mengatakan, pemerintah dapat mengenakan kebijakan tarif progresif terhadap varietas tembakau yang tidak dapat dipenuhi oleh petani lokal.
"Dengan adanya tarif progresif, maka yang diuntungkan tentu pemerintah," ujar Firman.
Pada kesempatan tersebut, Firman juga mengimbau agar pabrikan terus melakukan pembinaan dan kemitraan terhadap petani untuk membudidayakan varietas-varietas tembakau yang dibutuhkan. Sehingga, tembakau dalam negeri yang terserap menjadi lebih banyak.
Hal ini pun diamini oleh Moefti. Lebih lanjut, Moefti mengatakan, pemerintah perlu mendorong percepatan program kemitraan antara pabrikan dan petani tembakau. Program kemitraan termasuk proses pendampingan saat penanaman hingga panen.
Advertisement