Liputan6.com, Jakarta Pemerintah dinilai bisa mengatasi masalah yang terjadi pada sektor properti dengan cara mengambil alih kebijakan di sektor perumahan atau perbaikan secara politik pada bidang ini.
Sektor properti merupakan masalah sosial sehingga negara tidak bisa lepas tangan dan menyerahkannya ke mekanisme pasar. "Perumahan itu persoalan sosial. Negara harus mengambil alih," kata Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) DKI Jakarta periode 2000-2006, Bambang Eryudhawan, Rabu (13/9/2017).
Menurut Yudha, pembenahan politik perumahan yang tidak pro pasar akan mendukung penggunaan teknologi properti sebagai alternatif material perumahan. Teknologi ini diantaranya rumah kayu dengan sistem knock down yang sudah banyak diterapkan di sejumlah proyek properti.
"Teknologi itu sudah lama diterapkan, model rumah cepat bangun sudah dicoba diaplikasikan lama, tapi di Indonesia persoalannya itu kebijakan properti yang terlalu pro pasar. Jika dibenahi, maka semua teknologi properti bisa diterapkan," jelas dia.
Yudha memaparkan, di luar negeri terutama negara maju, menggunakan pendekatan social housing khusus rumah subsidi. Skema tersebut membolehkan seseorang menyewa rumah hingga 20 sampai 30 tahun. Sebab properti tersebut dimiliki negara dan harga sewa dikendalikan pemerintah.
Ia menyarankan pemerintah membeli tanah dan memiliki land bank alias bank tanah yaitu membeli ketika harga tanah masih begitu murah, lalu menyiapkan skema pengembangan perumahan. Dengan beban harga tanah ditanggung negara, harga rusunawa lebih terjangkau.
Advertisement
Database Perumahan
Yudha menambahkan, persoalan lain yang dihadapi saat ini, tidak ada database yang pasti perihal yang berhak mendapat subsidi perumahan. Seringkali rumah subsidi justru dibeli untuk investasi oleh mereka yang memiliki uang banyak, sehingga yang membutuhkan rumah justru tak ada peluang mempunyai rumah. Â
Masalah lain terkait rusunami yang diserahkan ke pasar. Pola tersebut membuat hanya yang memiliki uang yang bisa bebas membeli rumah dalam jumlah tak terbatas.
Seperti rumah kedua, ketiga, dan seterusnya hingga puluhan, sehingga harga tidak terkendali. Ketika properti yang dibeli disewakan kembali, harga juga tidak terkontrol. Â
"Akibat kebijakan rumah bermasalah, akhirnya beragam teknologi di properti, seperti rumah kayu menjadi tidak berkembang dengan sendirinya. Kalau semua diserahkan ke pasar, tidak ada kontrol, semua jadi mahal. Padahal perumahan ini menyangkut hajat hidup orang banyak tidak ada pilihan lain negara harus ambil alih," tutur dia.
Ia juga mempertanyakan Perumnas, BUMN yang kurang berperan karena kini hanya berjualan tanah sementara pembangunan diserahkan ke swasta. Ujungnya, dari sisi harga semakin mahal, karena swasta jadi penentu harga.
 "Perumahan diserahkan ke pasar tapi kalau jalan tol infrastruktur masih bisa dikendalikan negara, Jasa Marga memegang semua. Kan, harga tol yang menentukan pemerintah, kok untuk perumahan pemerintah tidak bisa mengatur," kata dia.
Dia berharap pemerintah melakukan hal serupa di sektor properti seperti pada infrastruktur.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Advertisement